Beberapa kali lewat di beranda saya postingan seseorang mengenai orang lain yang bertindak ini dan itu. Netizen kemudian ramai-ramai mengomentari postingan tersebut, menilai dari sudut pandangnya tentang hidup orang lain. Tanpa pernah mengetahui sudut pandang yang punya hidup sendiri, terhadap persoalan mereka. Saling bersahutan, hiruk pikuk seperti pasar.
Saya sendiri pernah merasakan menjadi topik postingan seseorang terkait pilihan hidup yang saya ambil. Ramai komentarnya dan meskipun terganggu, saya hanya merasa heran bagaimana seseorang bisa merasa lebih mengetahui apa yang baik untuk orang lain, selain orang itu sendiri dan Tuhannya?
Hidup seseorang tidak didesain secara acak, sebuah nasihat guru saya yang saya genggam erat saat ini. Bisa jadi seseorang sedang menjalani takdir yang tampaknya tidak baik, sesuatu yang dari luar terlihat chaos, namun sesungguhnya itu adalah desain Allah Ta’ala. Lalu apa yang salah dengan cerita yang Dia goreskan ini? Tidak ada, kecuali Dia sedang mengajari hamba-Nya tentang dirinya sendiri, bukan orang lain.
Seorang teman bercerita pada saya, bagaimana dia kemudian menjadi lebih tawakal, lebih percaya padaNya, saat ujian hidup menimpa. Di titik terendah, sakit keras, suami jatuh bangkrut, sekolah terputus, dirinya justru menemukan terang. Ketika bertubi-tubi pertolongan Allah datang, rekening yang mendadak terisi, rejeki yang selalu ada saat dia harus berangkat ke RS sementara mereka berdua sedang tidak berpenghasilan. Rejeki dari arah yang tidak disangka-sangka, yang kemudian menguatkan dirinya di perjalanan berikutnya, saat badai terlewati. Apakah kondisinya lebih buruk dari yang lain? Kalau dilihat dari kedekatan yang tercipta dengan pencipta-Nya, jangan-jangan itu adalah momen terbaik dari hidupnya.
Adakah cerita para Nabi yang berlangsung mulus-mulus saja? Tidak ada. Katakanlah kita bukanlah nabi dan ujian bukan tanda afdholnya iman tapi karena kesalahannya. Setidaknya dosa-dosanya sedang dibersihkan Allah Ta’ala. Sedang kita belum tentu. Bahkan dimana letak dosa kita sendiri mungkin kita belum paham. Jangan-jangan kita sedang seperti iblis yang terusir dari surga karena mengatakan ‘Saya lebih baik dari dia’. Hidup kita lebih baik dari dia, lebih sejahtera, lebih mulus, lebih gak banyak drama, lebih ini lebih itu. Saat itu jangan-jangan hati kita sedang dalam posisi ‘kafara’. Tertutup sehingga tak diizinkan bermohon untuk ampunanNya. Na’dzubillah.
Kita tidak pernah diminta untuk membaca kitab orang lain. Tugas kita membaca kitab kita sendiri. Membaca perjalanan kita sendiri sehingga menemukan mutiara di dalam sana. Pertanyaannya, seberapa jauh kita sudah membacanya? Baca kitabmu!, firman Allah. Kitab yang Dia tuliskan khusus untukmu. Hanya untukmu.