PENDERITAAN : MENGEJA KASIH DI BALIK UJIAN

Satu minggu terakhir ini bukan minggu yang mudah untuk saya. Salah satu teman baik saya terkena stroke di batang otak. Setelah koma dan dirawat di ICU selama satu bulan, saat ini kondisinya sadar namun belum bisa bergerak. Hanya mampu mengedipkan mata, sedikit tersenyum dan menggerakkan jari-jari.

Saat mengunjunginya beberapa hari yang lalu, saya menangis. Dua bulan yang lalu, kami masih sering bertemu—bekerja sama untuk sebuah proyek baru, menghadiri rapat dengan klien, mendiskusikan proposal, atau sekadar berbincang santai tentang hidup. Dia menemani saya membeli beberapa pakaian kantor, juga menemani saya saat kaki saya kecelakaan dan tidak bisa kemana-mana.

Saat menuliskan ini hati saya masih terasa perih. Dua bulan lalu, kami sempat berjanji untuk bertemu lagi setelah anak saya kembali ke Jepang. Namun, masalah kesehatan saya belakangan ini membuat saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, kecuali untuk urusan pekerjaan. Selama lebih dari satu bulan, saya bahkan belum sempat memberi kabar tentang kondisi saya kepada teman-teman terdekat, termasuk dia. Saya berpikir, nanti saja, setelah diagnosis saya lebih jelas. Dua pekan lalu, saya mencoba menghubunginya kembali, berharap kami bisa bertemu seperti biasa untuk berbagi cerita.

Tapi kabar yang saya dengar sungguh membuat saya terpukul. Setiap kali memikirkan kondisinya, nafas saya terasa sesak. Dua bulan lalu, kami masih tertawa bersama dan dia sempat menceritakan mimpinya yang aneh, yang buat saya sekarang terasa seperti pertanda dari Tuhan tentang kejadian ini. Dua bulan, waktu yang singkat, namun cukup untuk membalikkan segalanya.

Saya tahu hidup seseorang telah digariskan oleh Yang Maha Kuasa, setiap kadarnya, setiap kejadiannya. Pengetahuan panjang yang saya dapatkan bertahun-tahun ini, yang saya coba imani setiap hari. Tidak ada hal buruk di dunia ini, hanya kita yang belum memahami maksudnya. Saya menyakini ini hingga sekarang, namun tetap saja peristiwa ini membuat saya sangat emosional.

Kenyataan bahwa hidup teman saya mungkin tidak sama lagi. Kami mungkin tidak akan bisa kembali melakukan semua aktivitas yang pernah kami lakukan sebelumnya. Kami mungkin tidak akan bisa lagi duduk berdua di salah satu kafe favorit kami dan berbagi cerita. Kami mungkin tidak jadi merealisasikan rencana-rencana kerja sama kami dan impian kami untuk traveling keluar kota bersama. Kenyataan ini menghantam saya. Telak.

Saya tertatih mengeja hamparan takdir yang Dia sajikan kali ini. Benar-benar tertatih memohon pertolongan-Nya di tengah kondisi kesehatan saya yang juga belum stabil. Belajar mengeja kembali bahwa semua baik, apapun baik. Belajar membaca Cinta-Nya dalam setiap peristiwa. Belajar mengeja kasih-Nya dalam penderitaan.

Penderitaan seringkali terasa tak tertanggungkan. Namun, bukankah justru melalui penderitaan, kita sering kali menemukan makna sejati? Para nabi, wali, santo, dan Buddha—semua pernah melalui jalan penderitaan yang menuntun mereka pada cahaya. Penderitaan mungkin membuat kita menangis, tetapi ia juga sering menjadi awal dari sesuatu yang lebih jernih dan abadi.

Semoga apa pun penderitaan yang sedang kita hadapi, ia menjadi jalan bagi kita untuk menemukan kesejatian diri. Semoga kita mampu melihat kasih-Nya yang tersembunyi di balik semua rasa sakit ini. Amin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *