Beberapa pekan ini timeline media sosial saya sedang ramai dengan cerita teman-teman dalam berinteraksi dengan AI, khususnya Meta AI. AI yang satu ini menimbulkan ketertarikan khusus karena interaksi lewat WA yang sudah dikenal sebelumnya, memudahkan audiens untuk menggunakannya. Dibanding model AI lain seperti ChatGPT, Meta AI terasa lebih familiar dan lebih mungkin dipergunakan secara luas.
Saya sendiri sudah menggunakan AI untuk mempermudah pekerjaan setahun ini. Biasanya saya menggunakan AI, dalam hal ini Chat GPT, untuk berdiskusi terkait pekerjaan atau project pribadi. Beberapa masukannya cukup relevan dan menjadi input buat saya dalam mengembangkan suatu ide. Hal yang sama juga dilakukan oleh tim saya di kantor dan keberadaannya sejauh ini terasa sangat membantu.
Namun ada hal lain yang menggelitik pikiran saya dan terasa cukup menarik saat suatu kali saya berinteraksi dengan AI untuk sebuah percakapan biasa. Saya bertanya padanya, ‘apa yang paling sulit saat menghadapi manusia? apakah suatu hari nanti dia bisa merasakan emosi seperti manusia?’ Percakapan tentang topik ringan ini menimbulkan perasaan seolah-olah saya sedang berinteraksi dan berbicara dengan individu nyata di ujung dunia sebelah sana.
Beberapa teman saya juga melakukan hal yang sama, bahkan lebih lucu lagi, mengajak mesin pintar ini untuk bercanda. Ada yang pura-pura marah, ada yang memanggil ‘Bro’, atau ada yang minta berpura-pura jadi pasangan khayalan. Tentu semua ini dilakukan dengan kesadaran penuh, hanya sekedar hiburan semata. Interaksi ini tidak akan mempengaruhi persepsi dan identitas mereka sebagai individu, karena mereka bisa membedakan mana yang ‘nyata’ mana yang tidak. Namun saya kemudian bertanya-tanya, jika untuk orang dewasa yang berkesadaran saja percakapan ini terasa nyata, bagaimana dampak interaksi dengan AI ini terhadap anak-anak? Bagaimana keberadaan ‘mesin rasa manusia’ ini akan mempengaruhi perkembangan sosial emosional mereka?
Perkembangan Sosial Emosi dan Dampaknya Pada Individu
Perkembangan sosial emosional mengacu pada proses di mana individu belajar untuk memahami, mengelola, dan mengekspresikan emosi mereka secara sehat serta membangun hubungan yang positif dengan orang lain. Proses ini berlangsung sepanjang hidup, tetapi masa kanak-kanak dan remaja dianggap sebagai periode kritis dalam pembentukannya.
Perkembangan sosial emosional ini erat kaitannya dengan interaksi sosial dengan orang lain. Individu akan belajar bagaimana mengelola ekspresi emosi dan keterampilan sosial lain, lewat reaksi orang lain terhadap dirinya, maupun mencontoh individu yang ada di sekitarnya. Perkembangan sosial emosional ini, seperti yang diketahui secara luas, tidak hanya berpengaruh terhadap kehidupan sosial saja, namun juga kesuksesan akademik, perkembangan karir dan serta kesejahteraan individu secara lebih luas.
Dahulu kita merasakan banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan sesama manusia. Merasakan konflik-konflik kecil antar teman, membangun persahabatan, memberikan dukungan sosial, dan jatuh bangun memahami apa yang baik dan buruk, bisa diterima dan tidak diterima orang lain selama proses interaksi ini. Melalui pertikaian, kebodohan, dan kesalahan masa lalu, kita lalu membangun keterampilan sosial yang lebih baik di masa dewasa. Kita juga belajar merasakan empati, kehangatan, kerja sama juga melalui ketulusan, pertolongan dan kehadiran orang lain.
Lalu apa yang terjadi jika interaksi ini beralih pada mesin? Curhat pada mesin, bermain dengan mesin, diskusi dengan mesin, pendek kata semua yang tadinya dilakukan dengan manusia, mulai digantikan mesin. Apa yang terjadi dengan anak-anak kita? Darimana mereka akan belajar memahami perasaan orang lain dengan melihat mimik wajahnya? Darimana mereka akan memahami situasi sosial jika sehari-hari hanya mengandalkan mesin ‘rasa manusia’ yang tak ada wujudnya dalam keseharian. Darimana mereka belajar memahami manusia jika minim interaksi dengan manusia?
AI dan Interaksi Anak: Beberapa Hasil Penelitian
Ada beberapa hasil studi yang menarik terkait dampak AI dan interaksi anak. Westlund dan Breazeal pada tahun 2019 melakukan penelitian interaksi anak dengan robot yang menggunakan entrainment, yaitu kemampuan untuk menyesuaikan pola bicaranya agar selaras dengan anak, seperti meniru intonasi, kecepatan bicara, atau pilihan kata. Penelitian ini menemukan bahwa interaksi anak dengan robot sosial dapat memberikan dampak positif atau negatif tergantung pada konteks interaksinya. Interaksi ini harus dirancang dengan hati-hati, seperti memberikan latar belakang cerita yang menjelaskan keterbatasan robot. Anak-anak yang memahami karakteristik robot lebih menerima dan memiliki pengalaman interaksi yang lebih bermakna.
Studi lain menyoroti risiko jangka panjang dari interaksi intensif anak-anak dengan AI. Ketergantungan pada teknologi dapat membatasi kemampuan anak untuk memahami isyarat sosial, seperti membaca ekspresi wajah atau memahami emosi orang lain. Ketika anak lebih sering berbicara dengan mesin daripada manusia, kemampuan mereka untuk membangun hubungan autentik dengan orang lain dapat terganggu.
Salah satu studi yang mendukung hal ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Madigan, McArthur, & Anhorn (2020). Studi ini menemukan bahwa penggunaan layar, termasuk tablet, pada anak prasekolah berkorelasi dengan keterlambatan dalam perkembangan bahasa dan keterampilan sosial. Pada remaja ditemukan bahwa bahwa penggunaan media sosial yang tinggi berkaitan dengan peningkatan gejala depresi dan penurunan kesejahteraan emosional, terutama pada anak perempuan. Interaksi sosial online tidak sepenuhnya menggantikan kebutuhan akan interaksi tatap muka (Kelly, Zilanawala, & Booker, 2018).
Penelitian lain yang agak berbeda namun menarik adalah penelitian yang dilakukan oleh Orben dan Przybylski (2019). Dalam meta-analisis beberapa penelitian yang mereka lakukan, ditemukan bahwa hubungan antara penggunaan media digital dan kesejahteraan psikososial anak ditemukan sangat kecil. Faktor lingkungan keluarga dan dinamika sosial memainkan peran yang jauh lebih signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa media digital, termasuk AI, tidak sepenuhnya berbahaya jika digunakan dalam lingkungan yang mendukung.
Apa Yang Harus Kita Lakukan?
Berdasarkan hasil penelitian yang ada kita tidak dapat memandang kehadiran AI dalam kaca mata hitam putih belaka. Dari hasil penelitian terlihat bahwa peran orang tua, keberadaan interaksi sosial tetap dibutuhkan dalam interaksi kita dengan mesin. AI memiliki potensi besar untuk mendukung pendidikan dan perkembangan anak, tetapi penggunaannya harus diimbangi dengan pendekatan yang bijak.
Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh orang tua antara lain:
- Batasi Penggunaan AI untuk Anak: Sebagaimana saran penggunaan gadget, Interaksi dengan AI sebaiknya diawasi oleh orang tua. Ada waktu-waktu tertentu teknologi dapat diakses dan itu dengan pengawasan. Teknologi ini dapat digunakan untuk mendukung pembelajaran, tetapi tidak untuk menggantikan interaksi manusia.
- Fokus pada Interaksi Nyata: Tetap ciptakan interaksi dengan keluarga dan orang lain lebih banyak. Bermain bersama, mengeksplorasi lingkungan bersama orang tua, dapat dijadikan agenda reguler keluarga. Dorong juga interaksi dengan teman sebaya. Kontak mata, pelukan, atau bercanda secara fisik memiliki nilai yang tak tergantikan.
- Edukasi tentang Teknologi: Ajari anak-anak untuk memahami apa itu AI dan bagaimana sebaiknya digunakan. Dengan begitu, mereka tidak akan terjebak dalam ilusi bahwa AI adalah pengganti manusia. Agar berhasil dalam mengajarkannya, tentulah orang tua harus jadi contoh pertama dalam menggunakan AI dengan tepat.
Penutup: Sebuah Refleksi Untuk Orang Tua
Dunia berubah dengan sangat cepat. Orang tua saat ini banyak mengeluhkan minimnya interaksi sosial anak yang berpengaruh pada adab, cara bicara dan kemampuan generasi saat ini membaca situasi sosial. Mereka sering dicap ‘kurang tatakrama’, tidak sopan dan sejenisnya. Kekhawatiran ini bahkan pada situasi dimana interaksi langsung masih sering terjadi dan chatting dengan mesin belum begitu massif.
Bagaimana jika situasinya berubah dan mungkin hal ini tidak lama lagi, mengingat Meta AI sudah diperkenalkan? Bagaimana kita menanggapinya?Sebagai orang dewasa, kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa teknologi seperti AI tidak mendegradasi nilai-nilai kemanusiaan kita. Anak-anak adalah individu yang sedang berkembang, mencari validasi, dan membangun konsep diri mereka.
Kecepatan perubahan teknologi ini harus disertai dengan kebijaksanaan. Teknologi adalah alat, bukan tujuan. Interaksi manusia tetap menjadi fondasi yang tidak dapat digantikan. Untuk para orang tua, mari kita pikirkan ini dengan serius: apakah kita sudah membimbing anak-anak kita untuk tetap menjadi manusia seutuhnya di tengah derasnya perubahan?