Satu konsep yang cukup menarik yang pelajari di psikologi adalah definisi inteligensi sebagai kemampuan beradaptasi. Tidak hanya berkaitan dengan kemampuan memproses informasi atau mengingat sesuatu, namun juga hal penting dari inteligensi manusia adalah kemampuan beradaptasinya. Suatu malam, orang tua di WA Grup Keluarga Pintar membahas kemampuan beradaptasi ini dalam kaitannya dengan kemunculan AI yang konon akan segera menggeser posisi mbah google.
Menarik buat saya mengamati bagaimana teknologi berkembang sedemikian rupa, sebegitu cepat hanya dalam beberapa dekade saja. Generasi saya masih mengalami jaman ‘no internet’, sumber informasi yang tersedia hanyalah berupa buku, media cetak, yang aksesnya pun tidak merata di setiap kota. Lalu perlahan situasi mulai berubah ketika smartphone ditemukan, internet dengan sangat mudah diakses. Informasi berlimpah ruah, bahkan sepertinya cenderung membebani kognitif kita.
Di tengah disrupsi sebenarnya apa sih yang bisa membuat kita bertahan? Apa yang membuat kita bisa beradaptasi? Entah kenapa ketika memikirkan ini saya kembali merenungi tentang hakikat keberadaan manusia itu sendiri. Kalaulah semua pekerjaan dan fungsi lahiriah kita nanti bisa diganti oleh robot atau AI, sesuatu di dalam kita, jiwa kita, pastilah tidak akan pernah tergantikan. Sesuatu yang murni, dari ilahi, yang jadi pembeda besar antara kita dengan makhluk lain.
Saat disrupsi terjadi, dunia berputar dengan cepat, kebisingan di sekitar meningkat, rasa-rasanya melihat dan berpegang teguh pada apa yang ada di dalam yang akan membantu kita selamat dari pusaran. Mengajarkan anak-anak kita kembali pada konsep manusia, fitrah diri, menemukenali apa yang ada di dalam ‘batin’nya mungkin hal dasar yang bisa dilakukan untuk bertahan.
Mengajarkan untuk berjalan ke dalam, mungkin akan menjadi hal yang penting. Untuk melihat kekuatan, hal-hal yang tidak bisa digantikan orang lain, tempat kita di alam semesta, keunikan kita, yang hanya kita yang punya. Kalaupun seorang pedagang, untuk pedagang seperti apakah kita? Untuk umat yang mana, produk apa, yang harus kita jual? Keunikan, otentisitas, sesuatu dari dalam, murni, fitrah, yang akan membuat kita ajeg di tengah perubahan.
Untuk dikenali saat berada di tengah kerumunan, maka kamu perlu menjadi berbeda. Begitu salah satu pesan yang saya ingat saat masih menjadi pemain UMKM dulu. Prinsipnya yang sama dapat kita terapkan untuk anak-anak kita. Tidak sekedar menjadi berbeda, namun menjadi berbeda yang unik, khas sesuai dengan diri sendiri. Sesuai dengan apa yang ada di dalam diri.