Eikei University Of Hiroshima: Peluang Beasiswa S1 Ke Jepang Untuk Lulusan SMU

Belakangan ini sedang ramai perbincangan di sosial media terkait biaya universitas di Indonesia yang melambung tinggi. Ada satu postingan yang wara wiri di beranda FB saya menyarankan untuk melihat peluang sekolah di luar negeri, salah satunya di Jepang. Kali ini saya akan sharing sedikit terkait universitas tempat anak sulung saya sedang kuliah. Semoga informasi ini berguna bagi mereka yang sedang mencari beasiswa ke luar negeri, terutama beasiswa ke Jepang S1.

Eikei University Of Hiroshima, nama universitas tempat si abang menimba ilmu saat ini. Sesuai namanya, universitas ini berdiri di Hiroshima, salah satu kota yang luluh lantak akibat bom atom yang menjadi salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah umat manusia.

Eikei Universiy merupakan universitas baru. Berdiri di tahun 2021 (baru banget ya) saat ini sepertinya baru memiliki satu jurusan yaitu Social System Design. “22nd Century-type University” that will deliver change makers who will positively change society, merupakan tagline dari universitas ini. Kalau dilihat dari visinya mereka ingin menciptakan sebanyak mungkin para pembaharu, anak-anak muda yang mau menciptakan inovasi baru untuk memecahkan masalah sosial yang ada di sekitar mereka. Tidak heran salah satu proses seleksinya adalah anak-anak diminta untuk membuat essay terkait concern mereka di lingkungan dan apa yang akan mereka lakukan ke depan.

Karena universitas baru jangan ditanya terkait ranking universitas ini ya karena sepertinya belum masuk jajaran ranking internasional. Namun, Eikei University Of Hiroshima ini berinduk pada Hiroshima Prefectural University yang sudah lebih established di sana. Jadi sistem pengajaran, dosen-dosen juga kurang lebih sama dan mahasiswanya mendapatkan akses untuk ke sana juga, seperti akses perpustakaan ataupun konseling karir yang umum ditemui di sana.

Eikei merupakan Universitas negeri, jadi banyak subsidi dari Pemerintah Jepang tentunya. Beasiswa Radja sendiri juga berasal dari Pemerintah Kota Hiroshima. Selain itu ada banyak kemudahan seperti potongan biaya kuliah dan uang pangkal dengan dia mendapatkan beasiswa ini. Kedua hal ini juga terasa meringankan beban kami sebagai orang tua, yang nilainya tidak jauh berbeda dengan UKT Universitas Negeri di Kota Malang sana. Bahkan lebih murah daripada 3 universitas papan atas negeri ini, yang salah satunya merupakan almamater saya.

Apa yang membuat saya tertarik dan mengizinkan anak saya untuk menimba ilmu di sana di usianya yang masih sangat muda (17 tahun)? Gagasan tentang social changemaker ini sedikit banyak sejalan dengan impian dan idealism saya pribadi. Sekian tahun berkutat di komunitas dan lembaga social, saya berharap akan banyak para pembaharu yang mau turun dan berbuat untuk masyarakat. Anak saya mudah-mudahan adalah salah satunya. Sekolah buat saya bukan untuk memperkaya diri sendiri atau menjadi besar sendiri, namun harus membuat kita berkontribusi, sekecil apapun dalam bentuk apapun. Karena itu, saat membaca ide dari pendirian universitas ini, saya langsung tertarik dan merasa cocok.

Selain itu saya juga melihat minat dari anak ini yang juga tertarik dengan isu sosial dan politik. Sejauh yang saya baca (wallahu’alam, semoga pembacaan ini mendekati), anak saya seorang generalist, punya minat yang luas pada berbagai isu (sains, teknologi, bahasa, seni dan juga sosial) sehingga masa-masa kuliah ini bisa membantu dia lebih menggali lagi kekuatan dan bidangnya ada dimana. Lewat kehidupan kampus yang berbeda dengan Indonesia, saya berharap kesempatan eksplorasi tersebut menjadi lebih luas. Terus terang saya belum melihat minat atau kekuatan yang sangat spesifik pada satu bidang tertentu saja, meskipun dia juga sangat menonjol di desain visual. Namun kekuatan penalaran, ketertarikan pada isu sosial, kemampuan literasi dan verbal yang cukup baik, juga terlihat. Jadi kami memutuskan untuk mencoba bidang ini, dengan harapan dia dapat melanjutkan S2 nya di bidang Urban Planning, yang lebih spesifik dan bisa mengakomodir minat dan kekuatannya.

Nilai plus lainnya lagi dari program ini adalah practical skills yang diajarkannya lewat metode project based dan experiential learning. Jadi mahasiswa akan banyak bereksplorasi , berdiskusi, membedah sesuatu, juga terjun langsung untuk merasakan situasi atau pekerjaan tertentu di masyarakat. Hal ini diharapkan dapat menumbuhkan inisiatif mereka dalam memecahkan masalah, mengembangkan diri, dan jadi bagian dari solusi. Saya berharap dengan pengembangan soft skills ini, anak saya lebih dapat beradaptasi, berkembang dan berkontribusi sesuai dengan tuntutan zamannya.

Proses seleksinya sendiri cukup ketat sebenarnya. Program yang diikuti ini adalah program untuk mahasiswa internasional. Pelamar harus mengirimkan essay dalam bahasa Inggris dengan jumlah kata tertentu, terkait rencana studi mereka dan apa yang akan mereka lakukan/kontribusikan di masyarakat. Saya pikir mungkin essay ini digunakan untuk melihat cara berpikir dan juga minat anak terhadap masalah di sekitarnya. Saya ingat, abang Radja menuliskan tentang masalah transportasi publik di Indonesia dan apa yang ingin dia lakukan untuk memecahkan masalah ini. Singkatnya dia ingin belajar banyak terkait sistem transportasi dan juga ingin menerapkannya di Indonesia.

Seleksi kedua adalah interview dengan beberapa Professor di sana terkait essay yang mereka buat. Interview dilakukan online dan dalam bahasa Inggris, oleh dosen berkebangsaan Jepang dan juga Eropa. Hal ini mungkin karena program ini merupakan program kolaborasi antara Universitas Jepang dengan universitas di Eropa. Mereka merancang program pembelajaran yang menurut mereka sesuai dengan tuntutan abad 22 (termasuk isu SDG, dsbnya). Pertanyaan diajukan sepertinya seputar kedalaman essay yang sudah ditulis, untuk memastikan bahwa gagasan tersebut benar datang dari pelamar, bukan semata hasil kepintaran AI atau bantuan lain. Kuota mahasiswa internasional ini kurang lebih 20 orang, tapi sepertinya mereka tidak mengejar kuota harus tercapai. Hanya yang memenuhi standar yang mereka tetapkan yang lolos seleksi. Untuk Angkatan Radja sendiri negara asal mereka bervariasi: Filipina, Nigeria, India, Finlandia, merupakan beberapa di antaranya.

Sekarang berapa besarnya beasiswa yang diterima? Setiap bulan, mahasiswa internasional yang berhasil lolos mendapatkan 50 ribu Yen (kurleb 5 juta rupiah/bulan). Selain itu, mereka juga mendapatkan potongan uang pangkal dan uang kuliah. Uang pangkal sekitar 394 Ribu Yen (40 juta), dengan potongan 50% menjadi sekitar 20 juta. Uang kuliah per semester 267.900 Yen (sekitar 28 juta), dengan potongan menjadi 14 juta. Beasiswa selama setahun pertama dipotong sehingga hanya diterima 17 ribu Yen (1,7 juta) untuk pembayaran uang pangkal. Jadi pembayaran uang pangkal, Alhamdulillah bukan masalah lagi.

Bagaimana kemudian menutupi biaya hidup dan biaya kuliah? Besaran biaya hidup di Jepang untuk mahasiswa di kota Hiroshima ini sekitar 6-7 juta. Biaya hidup ini sudah termasuk biaya asrama (dormitory), listrik air, makan, dll. Jika ingin lebih lapang sekitar 8-9 juta rupiah. Alhamdulillah Allah memberi kemudahan dengan beasiswa tambahan dari MEXT selama kurang lebih satu semester dan juga kesempatan untuk kerja part-time di sana. Di Jepang, mahasiswa asing diizinkan untuk kerja paroh waktu atau dikenal dengan arubaito.

Dengan dua bantuan finansial ini kami selama semester kemarin hanya mengirimkan uang kuliah saja (14 juta/semester). Biaya hidup ditutupi dari sisa beasiswa dari sekolah, beasiswa MEXT dan bekerja. Hanya saja di awal keberangkatan kami harus menyediakan dana untuk tiket ke sana (kurleb 4-5 juta), visa, beli laptop, uang pegangan selama beasiswa belum turun dan untuk beli perlengkapan lainnya. Terkait kerja paroh waktu, penting untuk membekali diri dengan kemampuan bahasa Jepang untuk mempermudah kerja part time (arubaito) ini. Radja belajar bahasa jepang kurang lebih satu tahun (saat naik kelas 3 SMU) secara online, dengan biaya yang dicicil pembayarannya (kurleb 700-800 ribu perbulan, selama kurang lebih satu tahun).

Jika diakumulasikan, total biaya yang dikirimkan kurang lebih 2,5-3,5 juta perbulan (sudah termasuk biaya hidup, asrama, biaya kuliah, dll). Biaya ini hampir mirip dengan biaya hidup 3 juta rupiah perbulan yang dikirimkan salah satu teman saya untuk anaknya yang berkuliah di salah satu kampus negeri di Bandung, yang bahkan di luar biaya kuliah per semesternya. Saya memang harus banyak bersyukur atas segala kemudahan ini.

Untuk informasi lebih lanjut terkait Eikei University Of Hiroshima bisa diakses di sini https://www.eikei.ac.jp/english/ .

Instagram: @eikei_univ.

Semoga informasi ini membantu.

PUTRI ARIANI

Putri Ariani sedang viral dimana-mana. Saat menonton video nya di AGT, saya seperti jutaan orang lainnya, merinding. Suaranya luar biasa bagus, talenta bermusiknya juga luar biasa memukau.

Melihat penampilan Putri dari YouTube, saya memperhatikan sosok kedua orang tuanya. Ayah yang mengantarkan ke panggung, sesekali memeluk, menyampaikan kata-kata yang menguatkan. Ibu yang berdiri di pinggir panggung. Terlihat sekali berdebar-debar. Dalam hatinya pasti penuh doa untuk putri tercinta, menyaksikan penampilannya dengan berkaca-kaca.

Saya hanya bisa menebak-nebak isi hati mereka malam itu. Mereka adalah bintang lain dalam cerita kehidupan Putri mereka yang spesial ini. Bintang yang juga terang benderang.

Tidak mudah menjadi orang tua dari anak yang berbeda. Bertahun-tahun saya bertemu dengan orang tua dari beragam latar belakang, dari keluarga biasa hingga yang berada. Bertahun-tahun juga menjadi saksi pergulatan mereka saat menerima kenyataan bahwa anak mereka spesial. Berbeda.

Akan seperti apa hidup anakku nanti? Bagaimana aku harus membesarkannya? Bisakah dia mandiri? Bagaimana dia akan menghadapi kerasnya dunia? Pertanyaan-pertanyaan yang sering dilontarkan, seringkali dengan helaan nafas yang berat dan air mata.

Tidak mudah menjadi orang tua dari mereka yang spesial. Sangat tidak mudah. Mereka yang berhasil keluar dari prasangka buruk pada Tuhan atas takdir yang menimpa, menerima sepenuh hati, yang akhirnya dapat bertumbuh bersama anak-anaknya. Menemukan bakat mereka, kelebihan mereka, dan dengan suka cita merayakannya di tengah kelelahan dalam pengasuhan. Mereka selalu jadi sumber inspirasi saya.

Begitu juga untuk ibu dan ayah yang malam itu mengantarkan putri kecil mereka ke atas panggung luar biasa besar, di hadapan para musisi dunia. Pasti melalui fase-fase terpukul, berduka, dan kecamuk perasaan lainnya, saat tahu putri mereka akan berbeda. Dari yang saya baca, Putri sudah diketahui tidak dapat melihat sejak beberapa bulan terlahir premature. Orang lain bisa jadi memilih untuk mengabaikannya, alih-alih membesarkannya dengan penerimaan penuh.

Ayah ibu yang luar biasa. Saya tidak mengikuti perjuangannya, tapi saya seperti melihat bagaimana iman pada Yang Kuasa, mengantarkan mereka di titik ini. Masa depan Putri pada saat mereka menerima kenyataan tentang kondisinya, adalah hal yang ghaib. Pasti tidak mereka ketahui. Namun mereka memilih mempertahankannya, membesarkannya, hingga menjadi saksi akan kebesaranNya akan keghaiban hari esok. Kita hanya bisa melihat hasilnya di belakang. Usaha keras dengan iman yang pasti juga luar biasa pada Tuhan, yang mengantarkan Putri menjadi dirinya saat ini.

Pak Bu terimakasih sudah mengajari kami. Terimakasih sudah menguatkan orang tua dari para anak spesial untuk terus berjuang membesarkan anak-anaknya. Terimakasih untuk menciptakan terang dan cahaya di tengah keghaiban hari esok untuk anak-anak kita tercinta ini.

Semoga terangnya Putri mampu mewarnai dunia.

YA ALLAH, SAYA TERIMA

Sore kemarin saya berbincang cukup lama tentang hidup dengan seorang teman. Beliau adalah salah satu orang tua dari anak berkebutuhan khusus, yang sekarang usianya sudah remaja. Obrolan kami seputar ujian hidup dan bagaimana kami memaknainya. Ada hal menarik yang saya dapatkan dari ceritanya dan tertanam di ingatan saya hingga saat ini.

Teman saya ini bercerita, pada awal kelahiran anaknya hingga usia yang cukup besar, dia sulit menerima kondisi si anak secara penuh. Tipikal achiever dengan segudang prestasi, teman saya percaya bahwa anak ini pasti akan bisa mencapai apa yang dia targetkan. Dia percaya penuh kondisi si anak bisa diubah, harusnya tidak begini, harusnya bisa begini dan begitu, jika diusahakan sekuat tenaga.

Dengan mindset ‘in control’ secara penuh ini, mulailah dia melakukan sejumlah intervensi pada si anak. Sebenarnya sederhana saja hal yang dia inginkan, yaitu si anak bisa mandiri, bisa BAB dan BAK di toilet, dan membersihkan diri setelahnya. Dia melakukan semua yang dianjurkan. Mengajarkan tahap demi tahap, dengan bantuan penuh, pengulangan, visual support dan lain sebagainya, sesuai dengan informasi yang dia dapatkan dan pelajari dari berbagai sumber.

Hari hari berlalu, usaha demi usaha dilakukan. Semakin lama semakin dipenuhi rasa frustrasi karena perkembangan si anak tetap tak seperti yang diharapkan. Puncaknya ketika suatu hari, si anak BAB di celana dan berceceran di lantai dalam perjalanannya ke kamar mandi. Benar-benar chaos dan membuat sekelilingnya berantakan.

Dalam tangisan dan rasa frustrasi yang memuncak, teman saya merasa berada di titik terlemahnya. Tiba-tiba sebuah kesadaran muncul. Kesadaran tentang kondisi dan keterbatasan si anak. Kesadaran bahwa selama ini dia hanya ingin segala sesuatu berjalan sesuai dengan maunya, sesuai dengan kehendaknya, tanpa melihat sang anak dan juga Sang Pemberi Ujian.

Di titik ini dia menyadari bahwa dia belum menerima kondisi sang anak secara penuh. Dia sibuk berkutat dengan kemarahan dan penolakan terhadap takdir dan berusaha mengubahnya sekuat tenaga. Hal inilah yang menjadi sumber masalah hidupnya dan segala kekesalannya selama ini.

Kesadaran ini menampar teman saya sekaligus memberinya pencerahan. Dalam kesadaran yang baru dia kemudian berucap, ‘Tuhan, saya terima. Saya terima kondisi anak saya dengan sepenuh hati. Tolong bantu saya.’

Keesokan harinya sebuah keajaiban hadir. Si anak secara tiba-tiba berjalan sendiri dan BAB di toilet tanpa drama seperti sebelumnya. Teman saya bersaksi, bagaimana kejadian ini mengubah cara pandangnya tentang takdir, penerimaan, juga keberserahdirian. Bagaimana sebuah penerimaan bisa mengubah keadaan, dari yang tidak mungkin menjadi mungkin, dan semuanya bisa terjadi secara tiba-tiba saja.

Saya tercenung mendengarnya. Hari ini Allah ijinkan seseorang bertutur pada saya tentang penerimaan, tentu bukan tidak ada maksudnya. Saya sendiri sedang belajar menerima banyak hal dalam hidup secara penuh. Beberapa hal seperti menemukan jalan buntu, karena saya merasa harusnya tidak begini, harusnya begitu. Saya berusaha mengubahnya, alih-alih menerima kondisi dan memaafkannya. Cerita teman saya ini, sekali lagi, mengingatkan saya untuk menerima dulu semua takdir yang Dia hadirkan, sembari melakukan perbaikan dengan pertolonganNya.

BAKAT

Suami saya seorang yang sangat senang dengan komputer. Meskipun tidak bekerja sebagai IT, dia sendiri yang bertanggung jawab membereskan masalah terkait IT yang terjadi di kantor. Ada satu joke yang sering saya dan teman saya lontarkan terkait keahliannya ini, ‘coba lihat nih nanti, kalau udah Noer yang pegang, pasti tiba-tiba bener sendiri’, ‘Laptopnya takut sama dia, nurut kalau sama pawangnya’, setiap kali dia berhasil membereskan masalah laptop kami dalam waktu singkat, padahal kami sudah mencobanya berkali-kali.

Yang menarik adalah saat ini IT bukan merupakan pekerjaan utama suami. Jika ditanya apa pekerjaannya, dia akan menjawab ‘trainer’ dengan mantap. Bukan pengusaha, bukan juga ahli IT. Seorang pengajar, orang yang sangat senang mengajar dan dimudahkan dalam mengajar.

Saya sangat sepakat dengan beliau dalam hal ini. Beberapa kali mendampinginya dalam mengajar, saya bisa melihat betapa dimudahkannya beliau dalam menjelaskan sesuatu. Saya sendiri memiliki bakat mengajar, namun tidak selancar dan sejelas beliau ketika berbicara di depan kelas. Bahkan saat suatu kali mengajar anak-anak, dimana saya merasa ini adalah keunggulan saya, ternyata beliau dapat lebih mudah menjelaskan konsep yang rumit pada mereka dibanding saya. Pendek kata, bakat mengajarnya buat saya pribadi lebih menonjol dibanding bakat IT nya.

Bakat mengajarnya ini juga didukung oleh kemampuan beliau merangkai kata di depan umum. Kami memiliki dua kepribadian yang sangat berbeda. Saya yang lebih extrovert dan talkactive, secara logika harusnya lebih ‘jago’ saat berbicara dibandingkan dia yang introvert. Namun kenyataannya tidak demikian. Meskipun mungkin lebih luwes, namun beliau lebih pintar meramu kata dan entah bagaimana bisa merangkainya dengan persuasif sehingga juga menjadikannya public speaker yang handal.

Ada satu hal yang menarik terkait penemuan minat dan bakatnya ini. Sudah terpapar IT sejak SMP, tidak heran jika kemudian dia mengambil jurusan IT saat lulus kuliah dulu. Qadarullah beliau tidak lulus di tahun pertama kelulusannya. Secara logika dengan kecerdasannya dan beberapa proyeksi hasil tes sebelumnya, tidak terlalu sulit untuk beliau kuliah di sana. Namun Allah tampaknya menghendaki lain, yang kemudian saya lihat terkait dengan penemuan kemampuan-kemampuan lainnya ini di kemudian hari.

Kami pernah berandai-andai jika beliau diterima di IT sesuai dengan minatnya kala itu. Apa sebenarnya yang akan terjadi? Apakah dua bakat yang lain, yaitu mengajar dan berbicara di depan publik ini akan ikut terasah? Juga bakat manajerialnya, -termasuk mengatur istrinya, yg kadang keras kepala dan suka mengajak berdebat urusan kantor ini-, akan terasah juga? Wallahu’alam. Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Namun tampaknya, kegagalannya ini yang kemudian mengantarkannya memasuki jurusan lain dan pekerjaan yang berbeda sama sekali. Kegagalannya ini mengantarkannya mengeksplorasi diri lebih jauh.

Berkaca dari perjalanan beliau, perjalanan menemukan bakat ini tampaknya tidak semudah menarik kesimpulan ‘o anakku menonjol di sini dan dia suka hal ini, maka dia adalah itu’. Hal yang sering kali ditemui di luar sana saat ini, apalagi di tengah hidup yang makin kompetitif yang sepertinya kalau tidak menemukan passion kita saat ini, kita akan terlambat atau kita akan mati. Sepertinya tidak begitu.

Ketika kita melihat hal yang menonjol pada diri kita atau anak, lalu kita terburu-buru dan kadang dengan ‘membabi buta’ fokus pada hal tersebut, kita bisa jadi terlewat hal-hal penting lain dalam diri si anak atau diri kita sendiri. Hal-hal lain ini bisa saja hal yang kemudian malah utama, namun terkubur karena kita telah memutuskan menjadi ‘ini’.

Bakat yang ada diberi kesempatan untuk berkembang, saya sepakat dengan hal ini. Namun tetap perlu terbuka melihat kemungkinan lain. Bisa jadi apa yang terlihat hari ini, hanya pendukung akan apa yang dia bisa lakukan nanti. Hal utama yang dia lakukan, diri sejatinya, misi hidupnya, mungkin masih jauh atau berbeda yang kita lihat hari ini. Jangan terburu-buru, jangan terbawa nafsu. Manusia ternyata sedinamis dan sefleksibel itu.

Benarlah apa yang disampaikan guru saya, mengalir saja bersama apa yang dimudahkan hari ini. Hal ini juga berlaku pada perjalanan menemukan jati diri sejati kita, bakat terdalam kita, misi hidup kita. Kita yang sekarang belumlah permanen, masih on progress dan selalu under construction.

Depok, 5 Agustus 2023

IBU

Anakku sakit. Sudah beberapa hari ini badannya panas. Diagnosa dokter dia terkena demam tifoid atau gejala tifus bahasa awamnya. Alhamdulillah setelah istirahat, makan sesuai anjuran dan minum obat, kondisinya perlahan-lahan membaik.

Sakitnya ini membawaku ke ingatan ketika mengalami sakit yang sama, di usia yang tidak jauh berbeda. Puluhan tahun yang lalu. Aku harus istirahat kurang lebih dua Minggu saat itu. Ibu menjaga asupan makananku dengan ketat, sama seperti aku menjaga Banua sekarang. Hanya makanan yang lunak, tidak boleh pedas atau asam.

Berkali-kali rasanya ingin makan sesuatu yang sesuai selera, tapi ibu selalu berkata saat itu, ‘sabar ya, kalau nanti sembuh, insyaAllah ibu buatkan apapun yang kamu mau.’ Hal yang sama yang juga kukatakan pada Banua, ‘sabar ya, nanti kalau adek sudah sembuh, insyaAllah kita beli apapun yang adek mau.’

Bagaimana ibu merawatku kala sakit, menjadi model bagaimana aku merawat anak-anak kemudian ketika ada di situasi yang sama. Belakangan aku menyadari betapa apa yang beliau lakukan mempengaruhiku dalam membesarkan anak. Positif maupun negatif, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Begitulah ibu. Tanpa disadarinya mungkin, dia jadi referensi anak-anaknya, terutama anak perempuannya, bagaimana mengelola urusan domestik dan memaknai peran sebagai perempuan. Tentu tidak hanya hal baik sebenarnya, hal negatif termasuk reaksi emosi juga sering diturunkan dari ibu kita, karena secara tidak sadar modeling terjadi sepanjang proses interaksi dengannya.

Dalam obrolan mendalam dengan seorang teman, kami sama-sama bersepakat, database kita tentang perilaku orang tua, menjadi referensi kita juga dalam berperilaku, apalagi ketika kita kemudian tidak punya referensi lain. Teman ini bercerita bagaimana bertahun-tahun dia tidak menyadari bahwa dia mengulang pola perilaku ibunya yang dia tidak sukai, dalam hubungan dengan orang lain. Pemahaman ini baru muncul ketika digali oleh psikolog yang mendampingi dirinya. Momen ketika dia mulai berubah adalah momen ketika dia menyadari hal ini.

Menjadi ibu yang berkesadaran penuh terhadap kondisi diri, tampaknya menjadi hal yang sangat penting dalam membesarkan anak. Apa yang sudah baik yang dilakukan orang tua terhadap kita, yang kita tiru mungkin secara tidak sengaja, dan apa yang secara tidak sengaja juga kita adopsi dan kemudian menimbulkan masalah untuk orang lain atau keluarga kita? Dua hal ini sepertinya perlu secara berkala kita tanyakan.

Menjadi orang tua artinya refleksi terus menerus, melihat ke dalam terus menerus, menerima feedback terus menerus, menelusuri terus menerus seluruh peristiwa hidup, bersedia berubah terus menerus. Saya menyebutnya menjadi ibu atau orang tua yang berkesadaran. Sadar dan bersedia berubah dan bertumbuh setiap waktu.

Semoga Allah menganugerahi kita kesadaran ini, dan memberi kekuatan bertumbuh bersamanya.