CERITA PASANGAN PAROH BAYA

Di suatu sore yang tenang, setelah sholat ashar berjama’ah, seorang istri mendekati suaminya.

Istri. : ‘aku pengen buka puasa sambil kencan.’

Suami : ‘o iya gak papa, mau buka puasa dimana emangnya?’

Istri : ‘Gak tau, aku pengen martabak, tapi pengen mie Aceh juga. Aku juga pengen ke mall.’

Suami yang sudah sangat maklum sama ke-gaje-an istrinya pun menjawab: ‘ya sudah nanti kita beli martabak aja sambil pulang kantor. Sekalian Mas potong rambut, di sebelahnya ada martabak. Kita buka di rumah pake martabak, lalu setelah itu keluar terserah kamu mau kemana.’

Istripun setuju dan mampirlah mereka pulang kantor ke tukang pangkas langganan suami sambil membeli martabak. Namun saat tiba di sana, tukang martabak ternyata baru buka pukul 5 sore. Istri yang udah kepengen banget makan martabak rela menunggu 45 menit demi keinginannya. Alhasil mereka tiba di rumah sesaat sebelum azan Maghrib.

Setelah buka puasa dan sholat Maghrib, si istri kelelahan dan mengantuk. Lalu memutuskan untuk tidur dulu satu dua jam, sebelum keluar lagi untuk berkencan ala-ala 😆. Sang suami pun terpengaruh melihat istrinya, ikutan rebahan.

Apa yang terjadi kemudian? Umur memang tak bisa bohong ya. Akibat kelamaan nunggu martabak sementara perut kosong, bangun-bangun sudah lewat jam 10 malam 😆. Perut lapar, stok makanan di kulkas habis, cuma ada Indomie goreng dan satu telor. Beli makanan juga rasanya sudah tak mungkin, selain sudah malam, juga sudah kelaparan. Akhirnya rencana ngedate malam itu berakhir dengan makan Indomie goreng telor sepiring berdua 😆🤣.

Begitulah kalau sudah paroh baya ya. Gak usah kebanyakan rencana abis pulang kerja. Mending rebahan aja. Umur memang gak bisa bohong 😆.

SKINCARE

Kalau orang bertanya, ‘kok muka Mbak Putri tetap kelihatan bersih (minim flek) meskipun usia sudah pertengahan 40?’, saya agak bingung jawabnya. Bisa jadi karena olahraga, bisa jadi karena rutin merawat dan membersihkan muka. Merawat wajah di sini bukan dalam arti rutin ke salon untuk facial dan teman-temannya. Namun lebih kepada perawatan standar saja.

Perawatan standar itu mencakup membersihkan muka dengan susu pembersih, toner, krim malam, krim mata (ini agak kurang rutin), dan serum jika malam hari. Untuk siang hari biasanya hanya menggunakan toner dan krim siang. Rutin di sini gak juga setiap hari sih, kecuali membersihkan muka sepertinya memang jarang sekali terlewat. Menggunakan masker biasanya saya lakukan hanya sebulan sekali atau bahkan dua bulan sekali, saking sering lupanya.

Produk yang saya gunakan cuma ada dua, beberapa dari Orifl*me dan yang lain dari Cetaph*l. Setelah nyoba beberapa produk, yang paling cocok ya rangkaian produk di atas. Secara harga juga masih masuk ke kantong saya 🤭.

Kenapa rutin skin care-an, apakah karena gak pengen keriput? Ya gak juga sih. Betah aja rasanya pakai skin care karena terasa bersih dan lembab di kulit. Dulu awalnya karena jualan, lalu keterusan 😆. Kalau keskip rasanya jadi kurang nyaman.

Berapa lama pemakaian produk-produk ini? Beberapa biasanya habis dalam hitungan bulan, tapi cream biasanya bisa setahun. Sejak kapan menggunakannya secara rutin? Sepertinya sudah sejak awal 30an ya hingga sekarang menjelang pertengahan 40. Gak berasa bentar lagi masuk golongan jelita 😆.

Apakah perawatan rutin yang mengurangi resiko flek hitam di wajah? Mungkin ya. Wallahu’alam juga. Bisa jadi kombinasi dari olahraga dan perawatan rutin ini juga.

Satu lagi saya juga jarang make-up an kecuali saat training atau meeting dengan klien. Itupun hanya make up standar saja dan tipis. Bukan apa-apa, suka malas bersihinnya setelahnya 😆. Tapi itu mungkin mengurangi risiko keterpaparan wajah dengan zat kimia berlebihan. Ya begitulah kalau cenderung malas, pake yang praktis aja namun usahakan rutin.

Semoga sharing ini berguna 😁.

Note: saya sengaja fotoin produknya, siapa tahu ada yg sedang butuh referensi.

INDONESIA KAYA

‘Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.’

Isi pasal 33 ayat 3 ini yang terlintas berulang dalam benak saya saat berkunjung ke tempat ini. Selain rasa excited karena eksplorasi tempat baru, namun juga terbersit rasa sedih mengingat besarnya kekayaan alam yang tak berbanding lurus dengan keadaan rakyat.

Tempat ini hanya satu dari sekian banyak site tambang yang ada di Indonesia. Saya pernah berkunjung sebelumnya ke salah satu site yang lebih kecil. Sepanjang ujung Sumatera hingga daerah paling selatan, ada sekian banyak pertambangan. Mulai dari minyak, gas bumi, timah, batu bara. Itu baru hanya dari satu pulau : Sumatera. Kita belum bicara tentang Nikel di Sulawesi, Emas di Papua dan Batu Bara di Kalimantan, dan banyak tempat lainnya. Kita juga belum bicara tentang keindahan alamnya, kekayaan lautnya, tanah yang bisa ditanam sepanjang tahun, yang bisa jadi sumber pendapatan lain negeri ini.

Kita tidak pantas miskin. Sama sekali tidak pantas menyandang gelar negara miskin. Namun kenyataannya kita bukan pemilik kekayaan negeri ini. Anak-anak yang bertelanjang kaki, berjalan sekian kilometer untuk mendapatkan akses pendidikan, masalah air bersih yang terbatas, fasilitas kesehatan yang tak terjangkau, pengangguran yang tertinggi di Asia tenggara, bonus demografi yang jadi ancaman karena rendahnya kualitas SDM, hutang negara yang bertumpuk, kesenjangan sosial yang terbuka, Perguruan Tinggi yang dianggap mewah, hanya beberapa bukti bahwa rakyat bukan pemilik kekayaan negeri ini.

Saya lalu teringat pidato kampanye Pak Prabowo di pemilu sebelumnya, yang menyinggung ttg mengambil alih kekayaan alam kita untuk menyelesaikan banyak permasalahan bangsa. Meskipun wacana itu tidak ada lagi di kampanye terakhir, saya tetap berharap idealisme mu tak mati Pak saat memimpin negeri ini. Semoga Bapak pun tak tega melihat rakyat Bapak mati di lumbung padi. Di negeri yang kaya raya ini.

Semoga Pak.

PILIHAN HIDUP

Hidup itu adalah rangkaian konsekuensi dari pilihan yang kita ambil. Dulu saya sangat percaya dengan kalimat ini. Tapi sekarang, saya menyakini, bagi orang beriman pilihan hidupnya bukan dia yang menentukan. Ada Allah sebaik-baik pembuat pilihan.

Berserah diri pada hakikatnya menyerahkan pilihan ini padaNya. Melalui doa, istikharah, munajat panjang, pengambilan keputusan tidak lagi berdasarkan akal semata. Baik buruknya konsekuensi tidak lagi dilihat dari kacamata manusia. Karena jika merujuk pada ini, maka pilihan nabi Ibrahim meninggalkan Siti Hajar di tengah gurun, adalah bentuk kekejaman belaka di mata dunia.

Orang beriman ukurannya adalah keridhaan hati menjalani semua ketetapanNya. Dia yang makin ridho, hakikatnya adalah sebaik-baik manusia.

CHANGE MANAGEMENT

Tadi siang saya berdiskusi dengan calon klien ttg kebutuhan training Change Management di kantornya. Klien ini merasa terlalu lama di comfort zone, membuat leader yang ada di dalam perusahaan seolah berhenti untuk bertumbuh. Ketika ada disrupsi tiba-tiba saat pandemi kemarin, semua kesulitan untuk beradaptasi dengan perubahan ini.

Perubahan seringkali bukanlah hal yang menyenangkan, apalagi untuk orang yang terlalu lama di zona nyaman. Padahal perubahan seringkali harus dilakukan agar pribadi atau organisasi bertumbuh. Mindset yang benar dibutuhkan dalam menghadapi perubahan ini. Bahwa ada ketidaknyamanan, timbul ketidakpastian, reaksi yang tidak menyenangkan adalah hal yang biasa.

Demikianlah yang disampaikan panjang lebar oleh calon klien saya ini, yang merupakan salah satu top management di kantornya. Saya manggut-manggut setuju dengan apa yang disampaikannya.

Selang beberapa lama setelah pembicaraan ini, saya meninggalkan kantor untuk keperluan mengganti kartu ATM yang sudah tidak berlaku lagi di salah satu Bank. Saya sempat browsing dimana kantor cabang bank terdekat untuk mengurus ini. Ada beberapa pilihan, yaitu di daerah Cinere, Depok dan Pasar Minggu. Pilihan saya jatuh ke kantor cabang yang ada di Depok.

Di tengah perjalanan tiba-tiba saya menyadari bahwa pilihan saya kurang tepat. Saat ini saya berdomisili di sekitar pasar Minggu, namun saya malah memilih ke kantor cabang Depok, padahal saya memutuskan untuk langsung pulang setelah ke bank ini. Kedua kantor cabang ini juga bukan kantor cabang yang rutin saya kunjungi. Secara jarak dan waktu, saya menghabiskan lebih banyak sumber daya dengan mengambil pilihan ini.

Tiba-tiba saya tersadar bahwa saya memilih kantor cabang Depok karena Depok adalah comfort zone saya. Saya sepertinya masih tertatih-tatih beradaptasi dengan perubahan tempat tinggal, sehingga lebih memilih daerah yang saya rasa lebih familiar meskipun tidak efektif, jika dipandang dari sisi waktu dan biaya.

Pengalaman saya ini sepertinya menjadi contoh langsung bagaimana kesulitan beradaptasi thd perubahan, menimbulkan kerugian pada diri seseorang. Saya akhirnya bertanya-tanya kembali, apakah saya orang yang cepat beradaptasi dengan perubahan seperti yang saya pikir selama ini, atau sebaliknya? Tampaknya itu perlu saya renungkan lagi.