HOPE

Ada fase-fase terendah dalam hidup yang membuat saya terkadang takjub, karena berhasil melewatinya. Fase terendah ini kemudian saya lihat kembali saat saya terpuruk dalam episode yang berbeda. Kemudian saya tahu bahwa fase ini telah menciptakan suatu hal yang besar, dalam menjalani pasang surut kehidupan. Hal itu adalah HOPE (Harapan).

Harapan menciptakan keyakinan bahwa hal sulit akan dilalui. Bahwa hidup selalu ada pasang surut, ada ujungnya. Selalu ada cahaya di ujung terowongan gelap yang sedang kita lalui. Tanpa harapan, seorang akan berhenti berjuang.

Bagaimana membantu seseorang untuk tetap memiliki harapan akan hidupnya? Sependek pemahaman saya, mengajak dia kembali untuk mengenang atau bahkan merayakan keberhasilan dalam hidupnya, akan sangat membantu.

Salah satu perkataan seorang teman yang selalu saya ingat saat saya mengalami peristiwa buruk adalah, ‘dulu kamu pernah melewati hal ini, bahkan lebih buruk dari ini. InsyaAllah kali inipun akan terlewati’. Kata-kata ini membawa saya mengenang kembali masa sulit yang sudah terlewati, dan percaya ini pun akan selesai seperti sebelum-sebelumnya.

Menyalakan harapan, adalah salah satu hal yang mungkin bisa kita lakukan, untuk membantu orang yang kita sayangi melewati fase berat dalam hidupnya.

RUTINITAS

Sabtu adalah jadwal rutin saya mencuci pakaian yang tidak diserahkan ke laundry, dan membersihkan tempat tinggal. Setiap Sabtu saya biasanya turun ke layanan self laundry di lantai bawah, setelah cleaning day dengan anak-anak. Hal ini biasanya berlangsung hampir tiap minggu sehingga terasa berjalan seperti otomatis. Setelah ini, melakukan ini, lalu melakukan itu.

Minggu lalu, saat tengah memasukkan cucian ke dalam mesin cuci, tiba-tiba saya tersadar, betapa mudahnya kita terjebak dalam rutinitas. Bekerja dari Senin hingga Jumat, cleaning day di hari Sabtu, lalu menikmati hari libur sepenuhnya di hari Minggu. Kadang kala diselingi dengan acara-acara tertentu di antaranya. Begitu terus berulang, dari Senin ketemu Jumat, menunggu Minggu, lalu bertemu dengan Senin lagi. Repeat.

Lalu waktu berjalan begitu saja tanpa dipahami, untuk apa sebenarnya keberadaan di dunia ini. Sesekali ketika diterpa badai, kita merenung, diam sebentar, setelahnya kerap kali terjebak dalam hal yang sama, melupakan pertanyaan yang sempat muncul ke permukaan.

Untuk apa sebenarnya keberadaan kita di dunia ini? Apakah sesederhana bekerja, beranak pinak, mencapai ini itu, lalu mati? Ya bolehlah sesekali diselingi dengan aktivitas sosial atau berkarya di masyarakat yang mengundang decak kagum. Tapi apakah sesimple itu saja? Seragam untuk semua orang? Rasanya terlalu umum dan general sekali.

Siapa kita, untuk apa kita berada di dunia? Sebuah pertanyaan besar yang nyalanya semoga tetap terjaga hingga kita mati. Semoga kita temukan jawabannya, sebelum kita pergi dari dunia ini. Semoga Dia berkenan memperkenalkan diri kita kembali, pada diri kita sendiri. Suatu hari nanti.

Tentang Ujian

Momen dimana saya paham tentang kelemahan fisik saya adalah saat saya berlatih yoga. Ada gerakan-gerakan tertentu yang mengandalkan kekuatan otot lengan atas, dan saya kesulitan melakukannya. Saya sadari latihan ini memberikan ‘insight’ tentang salah satu hal utama yang harus saya perbaiki, jika ingin kondisi fisik saya menjadi lebih baik lagi.

Hal yang sama sepertinya berlaku juga dalam hidup. Ujian hidup, sepertinya berfungsi sama dengan ‘exercise’ atau latihan fisik ini. Dia memperlihatkan kekurangan/kelemahan, sekaligus kekuatan kita.

Kesadaran tentang sifat buruk seperti cenderung tergesa-gesa, agresif, dan sering berprasangka, justru hadir setelah ujian atau ‘latihan’ kehidupan datang. Semua kehilangan dan kepayahan membuat saya mengambil waktu jeda utk berpikir, dan menyadari ada banyak yang harus diperbaiki.

Di sisi lain, momen ini juga memberikan pemahaman tentang kekuatan dan potensi yang belum saya sadari sepenuhnya. Rasanya mungkin akan sangat berbeda, jika kedua hal ini hanya saya dengar dari orang lain.

Semoga ‘Hari-Hari Tuhan’ yang datang pada kita, mampu menimbulkan hal-hal terbaik yang Tuhan titipkan di dalam. Semoga semua ujian dan kepayahan, mampu mengangkat semua hijab hati berupa sifat-sifat buruk, yang menghalangi kita bertemu dengan-Nya.

Konstruksi Sosial

Agak mengerikan juga kalau mengingat bagaimana kita dikonstruksikan secara sosial, utk mendefinisikan siapa diri kita perhari ini.

Kita lahir dengan cetak biru dan potensi ilahiyah yang murni, namun kemudian, sejalan dengan waktu, mulai membangun konsep diri, sesuai dengan apa yg berhasil atau tidak kita lakukan, dan penilaian org lain terhadap kita.

Keberhargaan kita dinilai dari pencapaian-pencapaian yg standarnya kerap kali ditentukan oleh lingkungan. Pekerjaan yang bagus, kendaraan yg dimiliki, rumah dan sejumlah identitas sosial lainnya, sehingga seringkali kita lupa, bahwa apa yg ada di tangan hari ini, sekejab dapat pergi dari kita.

Kita lupa bahwa kita hanya meminjam. Ibarat org yg menempati lahan ilegal bertahun-tahun, kemudian memberontak saat pemilik asli datang dan meminta kepemilikannya kembali.

Seringkali, itulah kita.