Cerita dari Tanah Papua (1)

Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di tanah Papua, pulau paling timur Indonesia. Awalnya aku tidak terlalu excited untuk berangkat—mungkin karena faktor usia, atau karena terlalu sering bepergian belakangan ini, membuatku kehilangan semangat untuk menjelajah.

Ditambah lagi, kenyataan bahwa kepergian ke Tanah Papua ini akan sangat menyita stamina fisik, karena waktu kunjungan yang sangat padat. Nyaris tidak ada waktu luang untuk mengunjungi tempat wisata atau meng-eksplorasi kota.

Kami berangkat jam 10 malam menuju Makassar. Butuh waktu 2 jam lebih untuk tiba di sana, untuk kemudian transit selama 45 menit di tengah malam buta, dan melanjutkan perjalanan 3 jam lagi ke Timika.

Tak ada waktu istirahat. Kami hanya bisa sarapan sebentar, membersihkan diri dan langsung menuju ruang ballroom hotel untuk memulai training di pagi hari sesaat setelah kedatangan. Pendek kata, dilihat dari padatnya jadwal, perjalanan ini akan sangat melelahkan.

Dengan hati yang sedikit enggan, kamis pagi aku berkemas. Belum terbayang apakah aku akan sanggup dalam kondisi kurang tidur, memandu ice breaking seperti biasanya dan membantu suami mengendalikan kelas dengan lebih dari 100 orang peserta.

Jam 10 malam kami memasuki pesawat. Aku, suami dan satu orang partner kami. Bertiga kami memulai perjalanan, yang tidak seperti biasanya. Lebih terasa seperti keberangkatan ke LN, tapi tak ada jeda istirahat di antaranya. Sambil bergurau teman kami menganjurkan untuk mengkonsumsi obat tidur atau obat flu, agar bisa tertidur lelap di perjalanan. Aku jelas menolak, biarlah kita lihat saja nanti. Semoga staminaku kuat, pikirku kala itu.

Pagi hari menjelang mendarat, matahari menerpa dari balik jendela pesawat. Aku melihat sekelilingku yang mendung. Meskipun tidak tertidur lelap, Alhamdulillah pagi itu fisikku terasa cukup kuat. InsyaAllah aku bisa menunaikan dengan baik tugas pagi ini.

Saat melihat ke jendela, menikmati perjalanan, aku tiba-tiba tersadar. Entah untuk keberapa kalinya aku berada di dalam pesawat dan duduk memandang awan. Hidupku sangat akrab dengan perjalanan. Takdir untukku sepertinya adalah bepergian. Bertemu beragam orang, melihat tempat baru, merasakan petualangan baru. Takdir yang mungkin diinginkan oleh banyak orang.

Tiba-tiba aku tersadar, tidak sepantasnya aku mengeluh dan bermalas-malasan. Takdir hidup digariskan dengan tujuan. Bekerja bagiku adalah liburan. Allah mengaturnya demikian. Aku mungkin tak diberi kemudahan untuk hanya berlibur saja, menikmati banyak tempat tanpa harus dikejar-kejar pekerjaan. Tapi memang itulah kadarnya. Kadar yang sudah Dia tentukan untuk aku nikmati dalam perjalanan di dunia. Kadar yang mungkin akan mengantarkanku pada misi hidupku yang sebenarnya. Alasan kenapa aku hadir di dunia ini.

Di pagi hari itu, di atas penerbangan menuju Timika, aku menyadari masih kurang bekerja dengan sukacita. Aku masih berharap melebihi ukuran yang ditetapkan-Nya. Padahal bisa jadi itu adalah takaran paling pas untukku menikmati dunia, tanpa tergelincir di dalamnya.

oplus_1074
oplus_1024
oplus_1024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *