JALAN SETAPAK

Salah satu sahabat saya menderita sakit cancer. Meskipun kondisinya cukup stabil, namun dia harus mengkonsumsi sejumlah obat dan secara rutin berkonsultasi pada dokter untuk menjaga kondisinya ini. Selain itu dia juga menderita sakit autoimun yang sewaktu-waktu bisa kambuh, baik karena dampak pengobatan atau yang lainnya.

Suatu siang di sebuah gedung pencakar langit Jakarta kami bertemu. Saya perhatikan ada bekas luka di keningnya. Biasanya hal itu karena autoimun yang kumat dan menimbulkan masalah di kulit. Kulit mengelupas dan saya tidak tahu seberapa pedih rasanya jika sedang terjadi.

Siang itu saya lihat dia ceria saja, kami menyelesaikan tugas dengan cepat di sana dan memutuskan pulang bersama. Di tengah jalan, saya yang merasa penasaran bertanya bagaimana rasanya harus menjalani sekian pengobatan, bolak balik ke rumah sakit, belum lagi jika autoimunnya kumat. Saya sendiri tidak tahu akan sanggup atau tidak jika mendapatkan ujian yang sama.

Dia tertawa saja, katanya Alhamdulillah dia cukup ringan menjalani semua. Dia menerima kondisinya sebagai ujian, pembersihan sekaligus jalan mendekatkan padaNya. Saya sendiri juga tidak pernah melihat dia mengeluh, meskipun pasti kondisinya tidak mudah.

Setiap orang diuji dengan kehidupannya masing-masing, dengan kadarnya masing-masing dan ceritanya masing-masing. Jika teman saya dengan sakit, maka saya mungkin dengan pernikahan. Orang lain mungkin juga dengan anak. Jatah setiap orang berbeda, tergantung dengan kondisinya, tergantung dengan apa yang ada dalam jiwanya. Rasa-rasanya tidak ada orang yang tidak menghadapi kesulitan dalam hidup ini. Kesulitan dan kemudahan berkelindan merangkai cerita, membentuk jalan hidup setiap orang. Spesifik, khas, khusus. Tidak ada cerita satu orang yang sama persis dengan cerita orang lain.

Saya lalu teringat sebuah ungkapan bijak bahwa ada banyak jalan menuju Dia, sebanyak jumlah manusia di muka bumi ini. Mungkin inilah maksudnya. Cerita saya tidak sama dengan teman saya tadi. Tidak juga bisa dibandingkan satu sama lain karena kami jelas berbeda. Cerita yang berbeda ini menyimpan rahasia siapa kita dan bagaimana kita menuju-Nya. Semuanya hanya bisa terungkap hanya kita mau menyelaminya. Menyelaminya dengan penerimaan tanpa syarat tentunya. Seperti yang dilakukan teman saya siang itu, tetap tersenyum menjalani takdirnya. Jalan setapaknya.

Semoga kita dikaruniai keridhaan hati dalam menapaki jalan setapak kita sendiri. Karena keridhaan kita adalah tanda keridhaan-Nya. Hal terbesar yang kita inginkan dalam hidup kita.

Amin ya Rabbal ‘alamin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *