Sore kemarin saya berbincang dalam dengan seorang teman. Dari pembicaraan tentang hidup sehari-hari, topik kami kemudian beralih menjadi tentang melepaskan. Pertanyaannya cukup membuat saya berefleksi, bagaimana proses melepaskan terjadi dalam hidup saya, tepatnya bagaimana akhirnya saya bisa melepaskan banyak hal dalam hidup?
Beberapa tahun yang lalu pelajaran tentang melepaskan ini saya rasakan datang bertubi-tubi. Pasca perceraian, saya harus keluar dari rumah, berpindah tempat tinggal. Beberapa aset yang saya miliki sebelumnya harus dilepas, begitu juga kepemilikan materi lainnya. Pendek kata, selain status sebagai ‘istri’, identitas perempuan bersuami, juga saya harus kehilangan beberapa hal yang saya miliki sebelumnya, yang sifatnya materiil. Ketika memutar kembali memori tersebut, saya ingat di awal, sebelum peristiwanya benar-benar terjadi, saya pikir saya akan menjadi susah, mengalami kesulitan karena langkah besar yang saya ambil. Alhamdulillah, ternyata semuanya tidak seburuk yang saya pikir.
Sebagai manusia kita terbungkus dalam jasad yang menyebabkan kita terhubung dalam hal-hal yang sifatnya material. Kita memiliki kecondongan terhadap isi dunia ini, termasuk pasangan, anak, keluarga, teman, dll, selain juga harta kekayaan, pangkat, status sosial lainnya. Bahkan kita mungkin juga melekat dengan diri kita sendiri, seperti kecantikan/ketampanan, kecerdasan, isi pikiran. Kecenderungan ini kadang sedemikian kuatnya sehingga membentuk kemelekatan yang tidak kita sadari, hingga kemudian sebuah peristiwa ‘memisahkan’ kita darinya.
Pasangan, anak, keluarga, teman, mungkin dilepaskan lewat kematian, perceraian, atau hal lainnya. Kekayaan, pangkat, status sosial mungkin akan dilepaskan lewat status pensiun, PHK, peristiwa kehilangan seperti kebakaran, kemalingan, dsbnya. Kecenderungan pada diri sendiri bisa hilang karena penyakit yang merenggut kemampuan fisik kita ini, termasuk kecerdasannya. Singkat cerita kita tahu bahwa semuanya fana dan bisa lepas tiba-tiba. Namun pengetahuan ini seringkali tidak diiringi dengan keinginan sadar untuk menjaga jarak dan melepaskannya dari hati.
Melepaskan memang tidak mudah. Ketakutan, kegamangan, dan kecemasan sering menyertainya. Dari yang awalnya ada menjadi tiada, dari yang nyaman menjadi sulit. Namun, sering kali kehilangan justru membuka jalan baru—jalan untuk mengenali batin kita yang sebenarnya.
Saat kita belajar melepaskan, kita berlatih untuk tidak menggantungkan diri pada sesuatu yang bisa hilang kapan saja. Keterlepasan ini membawa kita lebih dekat pada inti diri dan, pada akhirnya, lebih dekat kepada-Nya.
Untuk teman-teman yang sedang menghadapi kehilangan, percayalah bahwa ini bukan sekadar ujian, tetapi juga didikan dari-Nya. Jalan terang dan hakiki mungkin belum terlihat sekarang, tetapi jika kita menerima kehilangan ini dengan lapang, insyaAllah kita akan menemukannya.