UJIAN DAN BATAS KEMAMPUAN

Kata-kata yang sering kita dengar saat sedang mengalami ujian hidup adalah ‘ Tuhan tidak akan menguji manusia di luar batas kemampuannya. Apapun ujian yang diberikan, pasti sesuai dengan kapasitas kita.’ Kalimat ini sering kita dengar sebagai penguat, entah di sosial media atau melalui nasihat orang lain saat kita mungkin bercerita tentang masalah atau ujian yang sedang kita hadapi.

Tuhan tidak pernah menguji hamba-Nya di luar batas kemampuannya, namun kenapa rasanya apa yang saya hadapi ini sudah di luar batas kemampuan saya? Pernah gak terlintas pikiran tersebut saat kita sedang merasa berat-beratnya dalam menghadapi ujian? Mungkin pernah ya, bertanya-tanya apa iya saya masih sanggup? kenapa Tuhan memberi ujian segini berat untuk kita yang lemah. Kita mulai meragukan, mulai merasa ungkapan tersebut hanya omong kosong dan kalimat pelipur lara saja.

Jadi mana yang benar sebenarnya? masa iya apa yang Dia katakan di Al-Qur’an ini salah? atau kita yang memang belum memahami apa maksudnya?

Ujian datang untuk menunjukkan hal-hal yang ada di dalam jiwa. Hal ini yang saya pahami kemudian dari Guru saya dan setelah mengalami beberapa kejadian berat dalam hidup. Ujian ibarat cermin yang mengeluarkan hal-hal yang ada di dalam, kekuatan maupun kelemahan.

Dalam suasana tenang, kita seringkali kurang fokus pada apa yang ada di dalam diri. Cenderung menikmati hidup dan mengejar apa yang ada di luar kita. Kita jarang bertanya siapa kita sebenarnya, apa yang harus dilakukan, mau kemana kita, apa kekuatan dan kelebihan kita, dan lain sebagainya. Saat ujian datang, sajadah kita terhampar, kita mulai berjalan ke dalam.

Lalu apa hubungannya dengan ujian di luar batas kemampuan? Sejauh pemahaman saya ini karena ujian terkait dengan hal-hal yang di dalam batin, maka yang ingin diperlihatkan adalah batas kemampuan di dalam batin.

Dia bukan sejauh kesulitan hawa nafsu kita menghadapinya, bukan rengekan kondisi psikologis yang masih ada di ruang shadr, ruang antara jiwa dan raga kita, bukan sejauh respon fisik, psikologis dan emosional yang masih ada di ruang lahir kita. Dia menelisik jauh ke dalam, ruang batin kita, sisi spiritual kita.

Mungkin saja kita tidak menyadari selama ini bahwa kita adalah orang yang sangat pemaaf, dengan ujian ini unsur pemaaf ini dilatih. Atau kita seorang yang pemurah, dengan ujian aspek pemurah ini didorong hingga limit lewat perilaku orang sekitar yang hobi memanfaatkan. Atau bisa jadi yang ingin dilatih itu keberserahdirian kita dengan mengendurkan kontrol kita yang selama ini berlebihan.

Selain itu juga mungkin dia melatih kita untuk fleksibel, menyadarkan tentang kesombongan yang ada dalam diam, ucapan-ucapan jumawa yang tanpa sepenuhnya disadari namun terlontar yang kemudian Dia wujudkan dan membuat kita terbelalak karena ternyata sulit, prioritas yang salah dalam hidup, kekurangan keterampilan dalam manajemen finansial atau keterampilan lain, dan lain sebagainya.

Singkat kata, dia mungkin saja memperlihatkan kekurangan dan kesalahan kita di hadapan, atau tepatnya menghamparkannya, agar bisa kita kenali dan kita taubati. Semuanya bisa dikenali biasanya setelah kita berhenti menyalahkan, menangisi nasib, atau bertanya apa untungnya sebuah masalah/ujian dihadirkan dalam hidup kita. Diam, menerima, beristighfar, memohon pertolongan-Nya agar semua terpahami dan dibantu melakukan apa yang Dia inginkan.

Tidak mudah memang karena pada dasarnya seperti sebuah obat, ujian nature nya pahit, meskipun menyehatkan. Kalaupun ujian tersebut sebagai bagian dari pembersihan, setidaknya kita punya harapan bisa kembali pada-Nya dalam keadaan bersih, setelah semua kesalahan yang kita perbuat. Hal yang mungkin tidak semua orang diberikan kesempatan itu.

Ujian yang hadir tidak akan melebihi batas kemampuan kita. Pertanyaannya, sejauh mana kita memahami batas ini yang ada dalam batin kita terdalam. Semoga suatu hari Allah tunjukkan pada kita kekuatan kita yang tersimpan ini dan semua hikmah ujian yang kita hadapi.

Amin Ya Rabbal ‘Alamin…

WAKTU DAN LUKA

Waktu akan membantumu mem-frame ulang apa yang terjadi, memahami dengan lebih jernih semua peristiwa, menerimanya dengan lebih lapang, memaafkan dirimu sendiri dan orang lain, lalu melepaskan masa lalu dalam damai dan mulai belajar hidup penuh di hari ini.

Semoga Tuhan, dengan ke MahaRahmanRahim- Nya, merangkulmu dalam kasihNya selama proses penyembuhan itu berlangsung. Semoga Dia berkenan mengajarkan hikmah setiap peristiwa padamu, sehingga kamu bisa bertumbuh selama proses penyembuhan ini, dan keluar menjadi individu yang lebih baik dari sebelumnya.

Apakah waktu bisa menyembuhkan luka? Bisa atas pertolonganNya, tanpa kamu harus menghapus seluruh peristiwa dari ingatanmu.

Untukmu, siapapun yang sedang terluka, bertahan dan bersabar ya…

LUKA BATIN

Dalam ilmu psikologi saya belajar bagaimana mengelola emosi dengan baik. Mulai dari meredam gejala dengan ‘inhale-exhale’, mengubah posisi tubuh saat emosi negatif muncul, hingga mengambil wudhu, mengambil waktu jeda, agar tidak meledak tanpa kendali.

Saya juga belajar mengelola emosi dari menerima emosi tersebut, mengakuinya, mencari penyebabnya, hingga mencoba menguasai skill-skill yang dibutuhkan, -seperti komunikasi assertif, problem solving, dan lain-lain- untuk membuat masalah yang sama tidak terulang lagi.

Saya juga belajar terapi memaafkan, yang saya tujukan untuk diri sendiri. Dengan teknik psikodrama, menulis surat dan lain sebagainya, untuk membantu perasaan marah, terluka, kecewa, sedih yang saya rasakan bertahun-tahun. Semuanya saya coba praktikkan, agar luka batin bisa sembuh dan pergi. Saya bisa melanjutkan hidup kembali.

Secara ajaib, semua itu hilang bukan karena usaha yang saya lakukan. Di suatu hari yang baik, saya merasa saya benar-benar bisa mengampunkan, memaafkan, menerima, bahkan menyayangi orang-orang yang pernah terlibat dalam kemelut hidup saya. Hati rasanya dibikin lapang saja, damai saja, sehingga kemudian benar-benar bisa melanjutkan hidup tanpa kemarahan dan dendam.

Saya kemudian tersadar, diri saya ini bukan milik saya sepenuhnya. Tidak di bawah kendali saya sepenuhnya. Sifat Pemaaf dan Pengampun itu adalah milikNya, dan Dia sedang berkenan memberikannya pada saya. Setitik, secuil, baru pada masalah ini saja, dan itu rasanya luar biasa.

Sifat Maha Pengampun ini adalah sifatNya. Kepada siapa Dia akan memberikan, itu adalah hak prerogatif-Nya. Meskipun Dia pasti akan adil melihat usaha dan doa kita.

Boleh saja kita belajar segala teknik mengelola rasa, tapi menggantungkan hasilnya hanya pada ini, maka kita akan terperangkap dalam kondisi ‘reda tapi tak reda’. Kita bisa tampak terkendali, tapi di dalam bergemuruh. Kita bisa oke di hari ini, tapi tak oke di hari lain. Semuanya masih kita simpan di ruang shadr kita. Sebuah ruang antara jiwa dan raga, tempat kita menimbun semua beban emosi. Timbunan ini bisa jadi mengendalikan persepsi kita di masa depan, membelokkan arah pikiran dan perilaku ke tempat yang tidak tepat.

Minta tolong padaNya untuk mencabutnya hingga ke jiwa. Untuk membersihkannya hingga ke akar, sehingga luka-lukanya bisa hilang tanpa sisa. Permanen, tanpa kita duga. Saya pernah merasakannya dan masih belajar memintanya untuk hal lain.

Setiap luka dan kesedihan adalah jalan kembali. Setiap rasa hadir untuk kita mohonkan pertolonganNya. Semoga kita bisa berhenti mengandalkan diri sendiri dalam mengelola emosi diri dan situasi.

– Jakarta, 12 Feb 2023-