TENTANG WAKTU

Saya dulu sangat mengagumi orang-orang yang produktif, aktif, sibuk dan banyak karya. Untuk saya mereka-mereka ini contoh orang-orang yang berhasil dalam mengelola hidupnya. Tidak banyak menghabiskan waktu untuk hal yang tidak perlu. Sibuk dengan kekaryaan dirinya, alih-alih mengurusi hal lain yang terkesan remeh temeh.

Sampai kemudian saya menyadari ada suatu hal yang lebih penting dalam mengelola waktu, dibandingkan target pencapaian maupun hasil yang dikeluarkan. Hal itu adalah seberapa terikat kita dengan Dia dalam pengaturan kegiatan harian kita. Seberapa ada keterlibatannya dalam semua yang ingin kita capai atau hasilkan.

Waktu dalam agama saya merupakan hal yang sangat penting sekali. Bahkan saking pentingnya, Allah bersumpah dengan waktu. Gak main-main harusnya. Guru saya pada sebuah kajian mengingatkan kami, jika sehari itu ada 24 jam dan diibaratkan 24 box/lemari, jangan sampai saat dibuka isinya banyak kosong melompongnya. Atau bahkan terisi hal-hal remeh yang memalukan kita di akhirat sana.

Pertanyaannya apakah hal-hal yang terlihat besar, kekaryaan yang wah, nanti membuat kotak kita terisi hal-hal yang akan menolong kita di akhirat nanti? Jawabannya belum tentu. Segala sesuatu akan bermanfaat jika ada timbangan Haq-nya. Timbangan dari perbuatan yang terhubung dengan Dia. Karena Dia, minta ijin padaNya, atas dasar petunjukNya, dan sejenisnya. Begitu sekarang yang saya pahami.

Bahkan sekedar bermain dengan anak, mencuci piring, menyelesaikan pekerjaan rumah, dsbnya, jika itu yang Dia sedang kehendaki dalam hidup kita pada saat itu. Ya akan sama besar dan mulianya dengan karya yang terasa megah di bumi ini. Hal yang paling mendasar pada akhirnya bertanya, apakah ini yang Allah sedang kehendaki dari saya per-saat ini atau ada hal lain yang harus menjadi prioritas.

Apa yang menjadi prioritas kita, apa yang sedang kita kerjakan, kita kejar, harus berdasarkan apa maunya Dia. Itu kemudian yang saya pahami. Bagaimana jika kita masih buta? Mulailah dengan Bismillahirrahmanirrahim. Dengan namaNya, dengan mengharap izinNya, dengan menghadapkan wajah padaNya, semoga memang hal ini yang Dia sedang kehendaki dari kita. Berat ya, iya memang berat sekali. Terutama jika mata hati kita masih gelap, seperti saya ini. Harus banyak-banyak baca Bismillah dan memohon pertolonganNya.

Jadi sahabat, jika sekarang kita terasa mandeg gak seperti yang lain, terasa kok di rumah aja, terasa belum apa-apa, jangan-jangan memang sedang disuruh untuk menikmati peran dan kesibukan di rumah ini. Jika sekarang sedang berkutat dengan urusan mencari nafkah, membuat hati sedih karena seperti kurang waktu sama anak-anak, jangan-jangan memang sedang begitu urusan-Nya.

Bukan apa yang kita kerjakan atau kita inginkan, tapi apa yang sedang Dia inginkan dan hadirkan untuk kita saat ini. Hari ini. Boleh berencana ini itu, tapi jangan jadikan dia Tuhan yang baru yang mendikte seluruh hidup bahkan akhiratmu.

Jadi apa prioritasmu? Semoga Dia adalah apa yang diinginkan-Nya. Semoga saya juga begitu. Amin ya Rabbal ‘Alamin.

BUSYRAN (KABAR GEMBIRA)

Dari dulu saya sering mendengar ungkapan Al-Quran dan para Rasul membawa kabar gembira dan juga obat. Meskipun gak terlalu paham apa maksudnya, biasanya saya mengangguk-angguk saja. Padahal dalam hati bertanya, apa itu busyran ya? Busyran dalam hal apa?

Pemahaman saya dulu terkait busyran ini hanya sebatas membawa kabar tentang Surga Neraka. Tentang segala sesuatu akan dibalas dan dihitung. Segala sesuatu akan diganjar. Intinya banyak-banyakan mengumpulkan amal, yang seringkali lahiriah saja.

Sudah berapa juz khatam sebulan ini? Sudah berapa juz hafal Al-Qur’an? Sudah berapa banyak sedekah? Sudah berapa banyak sholat sunnah? Sudah berapa syar’i penampilan, dan lain sebagainya yang mirip-mirip dengan itu. Terus terang terasa sangat dangkal sekali.

Mirip kabar gembira buat anak-anak agar berbuat baik sebanyak-banyaknya, ngumpulin token yang kemudian bisa ditukar dengan hadiah. Mirip-mirip pendekatan behavioristik yang bahkan di dunia psikologi juga kadang diperdebatkan.

Masa iya cuma itu? Saya kemudian bertanya-tanya. Hingga suatu hari saya mendapatkan penjelasan lebih dalam tentang hidup yang terkait perkara membawa kabar gembira ini. Bahwa hidup kita ini tidak disusun secara acak atau kebetulan semata. Tuhan kita, Yang Maha Penyayang itu, menyusunnya dengan Kedua Tangan-Nya. Bayangkan, gak main-main. Pasti ada sesuatu yang besar di situ. Dia gak menyusunnya sambil lalu lho. Di-crafting sedemikian rupa, dengan segenap perhatian dan kasih sayangnya.

Kok bisa segitunya? Bahkan ketika malaikat bertanya, ngapain sih menciptakan makhluk yang akan menumpahkan darah dan membuat kerusakan di muka bumi, jawab Tuhan, ‘Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’. Dalem banget ya, ada apa ya dengan kita?

Tujuan penciptaan kita yang diciptakan dengan tangan-Nya dan sepenuh penghadapan-Nya ini tentu bukan untuk main-main. Ada tujuan besar di sana. Ada misi hidup. Ada khasanah yang Dia letakkan di tiap jiwa kita ini, masing-masing. Sehingga kita menjadi makhluk yang sangat khusus. Itu buat saya sebuah kabar gembira.

Bagaimana kita menemukannya? Tuhan meletakkan jejaknya di setiap cerita kehidupan kita, mau itu susah maupun senang. Premis dasarnya segala sesuatu terjadi karena sebuah alasan. Alasan tujuan penciptaan ini. Jadi ya gak main-main. Masalahnya kita gak tahu, atau belum tahu, sehingga terjebak dalam jeratan kesulitan setiap hari, keluhan setiap hari atau juga kesenangan dan kemudahan setiap hari. Kita, yang makhluk langit ini, terkungkung jasad bumi. Lupa bahwa ada sesuatu yang berharga di dalam sana.

Pemahaman ini buat saya adalah kabar gembira. Benar-benar kabar gembira. Hidup saya yang centang perenang, terasa lebih terang benderang. Terasa ada harapan dalam pergumulannya. Saya mulai berhenti membandingkan dan berharap menjadi orang lain. Ada sesuatu di diri saya, terlepas dari apapun yang terjadi dengan saya, yang sama berharganya dengan yang dimiliki orang lain. Ketika saya mulai belajar fokus dengan itu, saya tahu hidup saya mulai tidak lagi sama.

Al-Qur’an dan Rasul-Nya benar-benar membawa kabar gembira.

Depok, 27 September 2024

PILIHAN HIDUP

Hidup itu adalah rangkaian konsekuensi dari pilihan yang kita ambil. Dulu saya sangat percaya dengan kalimat ini. Tapi sekarang, saya menyakini, bagi orang beriman pilihan hidupnya bukan dia yang menentukan. Ada Allah sebaik-baik pembuat pilihan.

Berserah diri pada hakikatnya menyerahkan pilihan ini padaNya.

Melalui doa, istikharah, munajat panjang, pengambilan keputusan tidak lagi berdasarkan akal semata. Baik buruknya konsekuensi tidak lagi dilihat dari kacamata manusia. Karena jika merujuk pada ini, maka pilihan nabi Ibrahim meninggalkan Siti Hajar di tengah gurun, adalah bentuk kekejaman belaka di mata dunia.

Orang beriman ukurannya adalah keridhaan hati menjalani semua ketetapanNya. Dia yang makin ridho, hakikatnya adalah sebaik-baik manusia.

PEMBATASAN

Dulu saya orang yang keras kemauan. Jika ingin sesuatu sebisa mungkin saya berusaha mendapatkannya. Buat saya kala itu, kita bisa kalau kita mau. Selagi halal, lakukan apapun itu. Saat itu saya jarang berpikir apakah Allah suka akan hal ini, apakah itu baik untuk aspek batin saya, atau tidak.

Waktu berlalu, sejalan dengan usia, hal-hal yang tidak menyenangkan yang terjadi, saya sadari kemudian adalah cara Allah menjaga saya. Beberapa peristiwa tidak menyenangkan di masa lalu, pengkhianatan, kegagalan, kesulitan, dan sejenisnya, saya sadari kemudian merupakan ‘pagar’ yang Dia berikan untuk membatasi hawa nafsu saya. Kegagalan yang mengantarkan pada hal lain, pembatasan yang membuat saya bersyukur karena sudah diselamatkan.

Seorang teman berkata, Allah berkomunikasi pada kita lewat ‘tindakan-tindakan’-Nya. Seringkali Dia ‘bertindak’, men-create suatu kejadian dalam hidup kita, membatasi gerak-gerik kita, untuk mengajari kita tentang diri kita sendiri atau sesuatu. Namun sayangnya hati kita begitu buta untuk memahaminya.

Itulah yang seringkali terjadi. Ketidakpahaman menciptakan keluh kesah, dan kadang berbuah amarah terhadap pembatasan yang Dia lakukan. Padahal yang Dia inginkan kita bertanya apa yang Dia kehendaki dengan pembatasan ini. Kita bersabar dengan semua pengajaran-Nya.

Sungguh ini luar biasa sulit. Namun, saya rasa inilah hakikat iman sebenarnya. Percaya pada-Nya, percaya pada pengaturan-Nya, percaya apa yang Dia lakukan adalah baik belaka. Bisa membaca apa maunya dalam pembatasan dan melihat Dia dalam setiap takdir kehidupan.

Saya masih belajar. Masih jauh. Namun semoga Dia berkenan menyematkan sifat sabar dan syukur ini pada saya suatu hari nanti, apapun kondisinya.

Mendengarkan Dengan Hati

Beberapa hari lalu saya melakukan presentasi training di depan klien secara online. Hal yang rutin sebenarnya, bertemu klien, mendengarkan kebutuhannya dan kemudian menyiapkan produk training yang sesuai dengan kebutuhannya ini.

Setelah saya melakukan presentasi, PIC klien yang merupakan top manajemen di perusahaan ini mulai menjelaskan situasinya. Beliau dahulunya berkarir di perusahaan besar, dimana learning culture-nya cukup baik. Training merupakan hal yang biasa, segala-galanya sudah berjalan by sistem. Setiap orang sudah memahami dengan baik jobdesc nya dan cara mengelola pekerjaannya.

Lalu kemudian pasca pensiun beliau diminta mengelola perusahaan ini. Perusahaan milik perorangan, yang masih bertumbuh. Kulturnya jelas berbeda dan beliau menemukan banyak kebutuhan untuk pengembangan diri dari karyawan, agar pekerjaan lebih efektif, namun tidak tahu harus mulai darimana.

Singkat cerita saya kemudian mencoba membantu beliau merumuskan model training atau pengembangan diri yang tepat. Di akhir meeting ini beliau terlihat senang sekali dan berkata, ‘yang saya butuhkan sepertinya teman ngobrol dan sharing ttg masalah ini.’ Beliau berharap kami bisa berdiskusi beberapa kali untuk kebutuhannya ini.

Saya cukup senang mendengarnya. Hal yang saya lakukan sebenarnya sederhana saja, yaitu menyimak dengan baik apa yang dia sampaikan. Mendengarkan dengan sepenuh hati, menangkap inti pesannya, merefleksikan kembali apa yang dia sampaikan, dan kemudian memberikan beberapa perspektif berdasarkan expertise saya utk masalah ini. Hal sederhana, buat saya mungkin terasa mudah, dan sehari-hari. Belajar mendengarkan dengan hati.

Efek terapeutik mendengarkan dalam konseling sudah saya ketahui dengan baik. Dalam ruang konsultasi yang saya adakan di komunitas, efek ini terlihat jelas sekali. Namun, ketika efek ini juga terasa di dunia bisnis, dalam hubungan yang sifatnya ‘untung rugi’ dan ‘jual beli’, saya merasa cukup surprise. Apapun itu, orang lain merasa terbantu saat kita bersedia mendengarkan dengan baik masalahnya. Bahkan ketika dia tahu bahwa kita sedang menjual produk kita padanya.

Saya tidak pernah belajar bisnis, sales ataupun marketing secara formal. Namun satu hal yang bisa saya bagi selama menjalani dunia ini adalah customer tetaplah manusia. Dia ingin diperlakukan sebagai teman atau sahabat, tidak hanya sekedar sasaran penjualan saja. Menempatkan diri sebagai teman bicara, alih-alih penjual, akan membantu untuk me-maintain hubungan jangka panjang dengan mereka. Pada akhirnya akan mendatangkan manfaat yang baik bagi penjualan maupun bisnis kita.