HATI

Beberapa bulan yang lalu saya mendampingi suami memberikan training di salah satu perusahaan. Di salah satu sesi, saya memandu sebuah aktivitas dan melakukan debriefing untuk mengantarkan pada poin pembelajaran. Sebelumnya, saya secara singkat menjelaskan tentang suatu teori terkait ilmu psikologi sesuai latar belakang saya selama ini.

Salah satu peserta memberikan argumen tentang teori ini, pada saat saya memberikan pertanyaan debriefing. Argumen ini menganggu saya karena mempertanyakan penerapan teori tersebut dalam konteks pekerjaan. Karena terganggu, saya kemudian agak berpanjang membahasnya, berusaha mempertahankan pendapat dan menyakinkannya. Kondisi ini membuat sesi tersebut jadi memakan waktu lebih panjang dari biasanya, meskipun akhirnya mencapai kesepakatan.

Saya yang kemudian tersadar lalu bertanya-tanya, bagaimana jika saat itu ego saya tidak tersentil? Mungkin sesi tersebut akan berjalan lebih mulus seperti sesi lainnya, karena saya tidak berusaha mempertahankan sesuatu.

Guru saya mengatakan apa yang terjadi pada kita, hakikatnya adalah diundang dari apa-apa yang ada dalam hati kita. Pertanyaan tersebut diundang masuk dari ego keilmuan yang saya miliki. Hal-hal lain mungkin juga diundang oleh hal-hal lain yang ada dalam hati. Merencanakan berlebihan diundang oleh kecemasan yang ada. Perasaan dihina diundang oleh rasa terhormat di dalam dada. Apapun itu, singkat kata, hanya memperlihatkan apa yang ada di dalam.

Benarlah nasihat Guru saya, jika terusik ambil waktu jeda, tanyakan apa yang terganggu di dalam sana. Lihat apa yang ada di dalam sana. Jika saya tidak merasa benar, akan jadi pertanyaan simple saja untuk org yang tidak punya ego tersebut.

Saya kemudian berpikir, orang-orang yang ikhlas, nampaknya akan mudah melewati segala sesuatu yang dihadirkan ini, karena memang tak ada yang bertahta di hatinya. Mungkin merasa sedih, kecewa sebentar, namun akan sangat mudah kemudian menerimanya. Jika kita masih sangat terganggu, itu artinya masih ada yang bertahta di dalam sana. Hati kita tidak sebersih yang kita duga. Demikianlah Dia mengajarkan dan menampakkan kondisinya.

Wallahu’alam.

PILIHAN HIDUP

Hidup itu adalah rangkaian konsekuensi dari pilihan yang kita ambil. Dulu saya sangat percaya dengan kalimat ini. Tapi sekarang, saya menyakini, bagi orang beriman pilihan hidupnya bukan dia yang menentukan. Ada Allah sebaik-baik pembuat pilihan.

Berserah diri pada hakikatnya menyerahkan pilihan ini padaNya.

Melalui doa, istikharah, munajat panjang, pengambilan keputusan tidak lagi berdasarkan akal semata. Baik buruknya konsekuensi tidak lagi dilihat dari kacamata manusia. Karena jika merujuk pada ini, maka pilihan nabi Ibrahim meninggalkan Siti Hajar di tengah gurun, adalah bentuk kekejaman belaka di mata dunia.

Orang beriman ukurannya adalah keridhaan hati menjalani semua ketetapanNya. Dia yang makin ridho, hakikatnya adalah sebaik-baik manusia.

LUKA BATIN

Dalam ilmu psikologi saya belajar bagaimana mengelola emosi dengan baik. Mulai dari meredam gejala dengan ‘inhale-exhale’, mengubah posisi tubuh saat emosi negatif muncul, hingga mengambil wudhu, mengambil waktu jeda, agar tidak meledak tanpa kendali.

Saya juga belajar mengelola emosi dari menerima emosi tersebut, mengakuinya, mencari penyebabnya, hingga mencoba menguasai skill-skill yang dibutuhkan, -seperti komunikasi assertif, problem solving, dan lain-lain- untuk membuat masalah yang sama tidak terulang lagi.

Saya juga belajar terapi memaafkan, yang saya tujukan untuk diri sendiri. Dengan teknik psikodrama, menulis surat dan lain sebagainya, untuk membantu perasaan marah, terluka, kecewa, sedih yang saya rasakan bertahun-tahun. Semuanya saya coba praktikkan, agar luka batin bisa sembuh dan pergi. Saya bisa melanjutkan hidup kembali.

Secara ajaib, semua itu hilang bukan karena usaha yang saya lakukan. Di suatu hari yang baik, saya merasa saya benar-benar bisa mengampunkan, memaafkan, menerima, bahkan menyayangi orang-orang yang pernah terlibat dalam kemelut hidup saya. Hati rasanya dibikin lapang saja, damai saja, sehingga kemudian benar-benar bisa melanjutkan hidup tanpa kemarahan dan dendam.

Saya kemudian tersadar, diri saya ini bukan milik saya sepenuhnya. Tidak di bawah kendali saya sepenuhnya. Sifat Pemaaf dan Pengampun itu adalah milikNya, dan Dia sedang berkenan memberikannya pada saya. Setitik, secuil, baru pada masalah ini saja, dan itu rasanya luar biasa.

Sifat Maha Pengampun ini adalah sifatNya. Kepada siapa Dia akan memberikan, itu adalah hak prerogatif-Nya. Meskipun Dia pasti akan adil melihat usaha dan doa kita.

Boleh saja kita belajar segala teknik mengelola rasa, tapi menggantungkan hasilnya hanya pada ini, maka kita akan terperangkap dalam kondisi ‘reda tapi tak reda’. Kita bisa tampak terkendali, tapi di dalam bergemuruh. Kita bisa oke di hari ini, tapi tak oke di hari lain. Semuanya masih kita simpan di ruang shadr kita. Sebuah ruang antara jiwa dan raga, tempat kita menimbun semua beban emosi. Timbunan ini bisa jadi mengendalikan persepsi kita di masa depan, membelokkan arah pikiran dan perilaku ke tempat yang tidak tepat.

Minta tolong padaNya untuk mencabutnya hingga ke jiwa. Untuk membersihkannya hingga ke akar, sehingga luka-lukanya bisa hilang tanpa sisa. Permanen, tanpa kita duga. Saya pernah merasakannya dan masih belajar memintanya untuk hal lain.

Setiap luka dan kesedihan adalah jalan kembali. Setiap rasa hadir untuk kita mohonkan pertolonganNya. Semoga kita bisa berhenti mengandalkan diri sendiri dalam mengelola emosi diri dan situasi.

– Jakarta, 12 Feb 2023-

HAKIM

Saya dibesarkan oleh ibu yang menerapkan strict parenting. Cenderung mengajarkan disiplin yang ketat dengan aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar. Kontrol terhadap perilaku merupakan salah satu hal utama dalam pengasuhan ini. Hal yang mana di kemudian hari saya pahami membentuk sifat cenderung protes jika seseorang tidak bertindak seperti seharusnya.

Saya jadi kurang dapat mentoleransi kesalahan orang lain dan memaksa orang untuk berubah sesuai dengan yang saya yakini benar. Bentuk ‘pemaksaan’ ini bisa hadir dalam komplain yang berulang-ulang atau nasihat yang berulang kali sehingga menjemukan untuk yang menerimanya, meskipun disampaikan dengan kalimat yang baik.

Hingga di suatu titik saya menyadari kita tidak pernah diminta bertanggung jawab terhadap perbuatan orang lain. Kita hanya diminta ‘saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran’. Bagaimana orang lain kemudian akan berperilaku sama sekali di luar kendali kita. Bukan tanggung jawab kita. Tanggung jawab kita adalah perilaku, pikiran dan perasaan kita sendiri. Itu saja.

Saya kemudian juga menyadari bahwa pikiran, perasaan dan perbuatan yang tidak tepat sebenarnya hanya merugikan diri sendiri. Jadi jika orang lain menyakiti kita, menahan hak kita, tidak melakukan kewajibannya, pada dasarnya kerugian ada di tangannya. Mungkin kita tampak terdzalimi dan diperlakukan tidak adil, namun semua pikiran, perasaan, perbuatan yang tidak tepat itu sejatinya hanya akan menghalangi pelakunya dari kebenaran, dari cahaya. Hijab yang menjadi sebenar-benarnya kerugian jika tidak ditaubatinya. Di titik ini sebaiknya kita mendoakannya agar doa yang sama dikabulkan juga untuk kita sendiri.

Saya lalu belajar untuk mengingatkan seperlunya saja, sebagai bentuk kasih sayang. Belajar melepaskan keinginan untuk mengontrol. Belajar untuk berhenti menjadi hakim dalam perilaku orang lain. Siapalah kita ini yang untuk memahami kebenaran saja masih sulit karena masih seringkali gelap dunia batinnya dan terhijab mata hatinya dari Al-Haq. Lebih baik belajar menjadi hakim untuk diri sendiri saja, sebelum Hakim yang sebenar-benarnya membuka kitab kita nanti dan menampakkan semua kebenaran di Hari Akhirat nanti. Wallahu’alam.

TERTUNTUN

Pernahkah memohon padaNya utk memilihkan apa yang terbaik untukmu? Seringkali hati sedemikian gelapnya, sehingga tidak tahu jalan mana yang harus ditempuh. Bahkan mungkin seringkali lupa memohon petunjukNya dulu, dalam hal apapun.

Seorang mukmin, org yang bertaqwa, hidupnya sangatlah tertuntun. Apa yg dilakukannya, selalu dalam koridor petunjuk Allah Ta’ala. Bahkan utk keputusan sekecil apapun, mau kemana hari ini, mau apa hari ini, dll. Tentu tidak mudah, krn butuh hati yang tenang, muthmainnah, utk bisa memahami apa yang Dia mau.

Butuh hati yang lapang, bukan yg selalu bergejolak setiap dihadirkan sesuatu. Butuh hati yg tidak lagi dijajah hawa nafsu, utk bisa melakukan kehendakNya. Setiap kali ujian hadir, hanyalah cermin utk memperlihatkan kondisi hati kita sebenarnya. Dan saya harus akui, saya lebih banyak cemasnya, galaunya, gelisahnya, ketika ujian melanda.

Saya seringkali terombang ambing terbawa emosi, entah itu marah, riang, takut, sedih, dll. Masih banyak kehendak dan ingin yang berlebihan, sehingga kadang terkesan memaksa Tuhan utk mengabulkannya. Apa gak boleh punya kehendak? Boleh, tapi tidak melampaui batas, dan selalu diusahakan selaras dengan kehendakNya.

Apa gak boleh merasakan emosi? Bukan manusia dong… Ya bolehlah, yang gak boleh membiarkan emosi (dalam arti luas, bukan cm marah) mengendalikan kita. Gimana caranya kita tahu bahwa sudah berlebihan atau dikendalikan kehendak atau emosi? Pada titik tertentu, kita akan merasakannya.

Sejalan dengan waktu, saya akhirnya belajar, bertumbuh sehat secara psikologis itu, sangat tergantung dengan koneksi kita denganNya. Mengusahakan utk sehat mental dgn usaha duniawi, tentu baik, bagian dari jihad. Namun, apakah akan disematkan jadi sifat olehNya? Itu adalah hadiah, pemberian krn Dia ridho pada kita.

Saya ini pencemas dan selalu berjuang keras mengatasi kecemasan saya, dengan segala teknik relaksasi, CBT, dll. Namun, pada titik-titik tertentu, ketika Dia sdg bermurah hati menganugerahi ketenangan, rasa cemas hilang seketika, karena yakin padaNya. Masih terus berjuang sih, krn jelas saya masih jauh dari kata taqwa. Tapi setidaknya, semoga di penghujung usia, Dia berkenan mengkaruniai derajat yang tinggi ini.