TENTANG HIDUP

Siang itu hujan baru saja berhenti. Mendung masih bergelayut di langit, ketika aku dan si kecil membuka pintu pagar rumah. Kami berencana makan di satu tempat, sambil bertemu dengan beberapa sahabat lamaku.

Taksi online yang kupesan sudah terparkir di depan rumah. Ketika membuka pintunya, aku tersadar pernah bertemu dengan pasangan ibu dan anak, pengemudi taksi online ini. Dia driver perempuan yang sama, yang mengantarkanku ke kantor beberapa bulan yang lalu.

‘Wah bertemu lagi, Bu’, kataku menyapanya ringan. Si ibu sekilas terlihat tersenyum. Anaknya yang berkebutuhan khusus -autistik nonverbal- duduk di sampingnya sambil memainkan sesuatu. Aku memperhatikannya kembali.

Kali pertama bertemu, aku pernah bertanya apakah si anak ini selalu dibawa saat bekerja? Dia mengatakan iya, karena tidak ada yang menjaga di rumah. Selain itu, untuk memudahkannya mengantarkan anak tersebut ke tempat terapi. Sang ibu juga bercerita mengenai kesulitannya menemukan sekolah khusus yang terjangkau, agar sang anak mendapatkan penanganan yang tepat.

Cerita tentang hal ini sudah sangat sering kudengar. Terapi yang mahal, biaya sekolah yang tinggi, tanpa jaminan program dan penanganannya akan sesuai. Tidak mudah menjadi orang tua anak spesial di negeri ini, apalagi jika keuangan kita terbatas dan kurang memadai.

Kami melanjutkan perjalanan dalam diam. Hampir 30 menit kemudian kami tiba di kafe tempat janji temu dengan dua sahabatku sejak masa kuliah dulu. Menjelang tiba, aku menemukan kenyataan lain, seorang ibu, perempuan, sedang memarkirkan kendaraan yang ada. Ibu yang bekerja menjadi tukang parkir ‘ilegal’ demi mencukupi kebutuhannya. Perempuan, lagi-lagi, dengan segala perjuangannya.

Tiba-tiba hidupku terasa mewah sekali. Makan siang di kafe, bercengkrama dengan teman baik, membawa serta anak yang sudah menjelang remaja dengan menyewa taksi online untuk pulang dan pergi. Tak ada yang kurang sama sekali. Badanku sehat, meskipun belakangan terganggu masalah hormonal karena faktor usia, tapi setidaknya aku bahkan masih bisa berolahraga rutin cukup panjang 2-3 kali sepekan. Aku bekerja di tempat yang memadai, di bawah pengawasan suami sendiri. Suamiku bertanggung jawab menafkahi kami. Meskipun tak selalu ada, tapi selalu berusaha menyenangkan hati jika kami sedang bersama.

Hidupku memang tak sempurna. Tapi hei, hidup siapa yang sempurna? Semuanya tercukupi sesuai takarannya. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, tak ada yang terlalu dirisaukan. Jika ada kekurangan, anggap saja bumbu-bumbu kehidupan.

Siang itu, Allah memberi pelajaran langsung tentang hidup. Tentang perjuangan, tentang kecukupan, tentang kehidupan. Pelajaran tentang kebersyukuran yang sering aku lupakan.

Duh, maafkan aku, Tuhan.

Induk Gajah, Pengasuhan, dan Refleksi Diri

Libur lebaran lalu saya menyempatkan diri menonton drama series Induk Gajah, rekomendasi dari seorang teman. Cerita hubungan ibu dan anak dengan latar belakang budaya Batak dan dibumbui percintaan hasil perjodohan. Drama komedi yang lucu, menarik dan sepertinya juga cukup hits saat ini.

Satu hal yang menarik yang tertangkap oleh saya adalah karakter Marsel, yang diperankan oleh Dimas Anggara. Sosok Marcel di sini digambarkan sebagai laki-laki yang baik, penyayang, cenderung patuh pada orang tua, namun juga kurang tegas dalam mengambil keputusan. Sikap kurang tegasnya ini menyebabkan Marcel kehilangan pacar yang dicintainya dan nyaris kehilangan Ira, kekasih yang hadir karena perjodohan. Ada ketakutan dalam mengambil tindakan karena tidak ingin berkonflik dengan sosok ibu yang galak dan dominan.

Menarik melihat bagaimana sang ibu yang diperankan oleh Tamara Geraldine, mengatur hampir semua pilihan hidup Marcel, mulai dari jodoh hingga pekerjaan yang dijalani. Sang Ibu bisa mengancam menutup usaha kafe Marcel jika dia tidak menuruti perintah ibunya.

Nampaknya dari sini sikap kurang tegas ini berasal. Orang tua yang dominan, cenderung harus selalu dipatuhi, dalam beberapa penelitian memang menghasilkan anak yang penurut, namun cenderung kurang inisiatif, takut dan seringkali ragu dalam mengambil keputusan.

Pola asuh yang sama juga dapat menghasilkan anak yang pemberontak, kasar dan cenderung bermasalah dengan hubungan dgn orang lain. Singkat cerita, drama series ini berhasil menggambarkan secara halus bagaimana dampak pengasuhan pada individu dewasa.

Bagaimana pola asuh orang tua akan mempengaruhi seseorang, mungkin sudah banyak diketahui umum. Namun menyadari sepenuhnya dampaknya pada perilaku kita dan juga efeknya pada hubungan dengan orang lain, nampaknya menjadi PR tersendiri. Dalam banyak kasus, orang bertindak otomatis, begitu saja, tanpa disadari sepenuhnya. Akibatnya perilaku yang sama ditampilkan berulang-ulang, tanpa menyadari ada yang salah dengan perilaku tersebut.

Tidak mudah memang ya meneropong kondisi kita per hari ini. Buat saya pribadi pada akhirnya itu mengantarkan pada menuliskan life journey secara jujur, lengkap dengan kondisi orang tua, karakteristik mereka, cara mereka menangani situasi, kondisi lingkungan sekitar, termasuk juga kondisi sosial ekonomi dimana saya dibesarkan. Dalam proses menuliskannya, saya melihat kemudian beberapa sifat yang terbentuk sekarang, hasil dari interaksi sekian banyak faktor tersebut, yang ternyata muncul berulang. Menuliskannya dan menceritakannya kembali pada orang-orang yang saya percaya, membantu saya melihat lebih detail dan komprehensif tentang apa yang terjadi dalam hidup saya hingga hari ini.

Hasilnya tentulah belum sempurna. Masih banyak blind spot yang belum diketahui, karena pasti ada hal-hal yang tidak bisa kita lihat. Dalam hal ini, saya percaya membuka diri dari masukan orang-orang terdekat secara berkala, akan membantu melengkapinya.

Menuliskan cerita perjalanan hidup sebenarnya salah satu bentuk usaha lahiriah saja untuk terus berkembang dan memperbaiki diri. Semoga suatu hari Allah sempurnakan dengan pemahaman yang lebih hakiki.

Yuk mulai refleksi dengan menuliskan perjalanan hidupmu sendiri.

ADOPSI

Salah satu sahabat saya mengadopsi anak beberapa bulan yang lalu. Anak kecil yang lucu, yang tidak diketahui siapa orang tuanya dan selama ini tinggal di salah satu panti di Jakarta. Saat dibawa pulang, anak ini terindikasi stunting dan kurang optimal perkembangannya. Namun beberapa bulan bersama, anak ini tumbuh ceria, sehat dan mengejar berbagai ketertinggalannya.

Beberapa pekan lalu saat saya sedang berkunjung ke rumahnya, saya bertemu dengan orang tua lain yang juga mengadopsi seorang anak. Wajah anak yang diadopsi ini sangat mirip dengan kedua orang tuanya, sehingga sekilas orang-orang akan mengira dia anak kandung pasangan ini. Menurut teman saya, memang begitu kebijakan panti, diusahakan anak yang memiliki kemiripan wajah dengan salah satu atau kedua orang tuanya.

Ada yang mengalir hangat dalam diri saya saat melihat anak-anak ini dan bagaimana interaksi mereka dengan orang tua angkatnya. Dengan background ilmu perkembangan anak yang saya miliki sejauh ini, saya bisa melihat anak-anak ini tumbuh sehat, tercukupi kebutuhan gizi dan kasih sayangnya di tangan orang tua angkat mereka.

Di sisi lain saya juga melihat kebahagiaan yang terpancar dari kedua orang tua. Saat hanya berdua pasangannya, rumah yang ditempati sahabat saya terasa sepi. Rumah yang sama terasa hangat dan ramai dengan kehadiran anak ini. Klop. Pas. Allah mempertemukan mereka untuk saling memberi dan menerima.

Saya lalu teringat salah satu pesan Guru saya bahwa segala sesuatu ada pasangannya. Tidak hanya pasangan hidup, namun juga pasangan urusan-urusan. Sahabat saya yang bertahun-tahun belum dikaruniai anak ini mungkin saja didesain begitu, karena pasangannya adalah anak yang ditelantarkan orang tuanya ini.

Mereka dipertemukan lewat keadaan yang mungkin terlihat tidak baik, padahal penuh skenario Allah di dalamnya. Anak yang ditelantarkan ini, bisa saja tidak mendapatkan dukungan yang cukup untuk tumbuh kembangnya jika dibesarkan oleh orang tua kandungnya. Hal yang sekarang dia peroleh dari orang tua angkatnya.

Segala sesuatu ada pasangannya. Jika bukan pasangan hidup, bisa jadi pasangan urusan-urusan. Ketika ‘pasangan’ ini menyatu, kita bisa melihat sifat Rahmaniyah Allah di dalamnya. Penuh kasih, cocok, dan saling menyempurnakan satu sama lain. Meskipun sebelum mereka menyatu, bisa jadi segala sesuatu terlihat ‘buruk’ tampak luarnya.

Semoga kita dipertemukan dengan ‘pasangan-pasangan’ kita ini, disepanjang hidup kita, apapun urusannya.

Amin ya Rabbal ‘Alamin..

Depok, pertengahan Desember 2023.

Tentang Takdir

Pagi menjelang siang, seorang bapak membawa barang dagangannya berkeliling dengan berjalan kaki utk mendapatkan uang untuk makan. Dagangan berupa keset yang disandang di pundak, dihamparkan bertingkat dan dibawa sekian kilometer untuk mendapatkan pembelinya. Dua kali saya bertemu dengannya, dua kali pula saya terenyuh melihatnya.

Kali lain dalam suatu kajian yang diampu suami, salah seorang peserta bertanya, bagaimana kita menyikapi suatu takdir? Kenapa ada hal-hal malang di sekitar kita, hal-hal buruk yang terjadi, sehingga seolah-olah Tuhan tidak adil. Membiarkan sebagian umatnya mengalami nasib sedemikian buruk, sementara yang lain tidak.

Pertanyaan yang menggelitik dan mungkin ditanyakan banyak orang juga, meskipun di dalam hati. Kenapa Tuhan bisa bertindak seperti itu?

Salah satu hal yang saya ingat saat membaca Qur’an adalah ayat tentang betapa pendeknya kita hidup di dunia ini. Hanya sehari atau bahkan beberapa jam saja. Hidup yang singkat namun berdampak panjang pada perjalanan kita di alam berikutnya.

Jika berkaca pada hidup yang singkat dan keghaiban hari esok ini, kita benar-benar tidak tahu apa yang akan dialami oleh mereka yang kita lihat menderita ini. Kita bahkan tidak tahu tentang hidup kita sendiri. Mana yang lebih baik sebenarnya. Segala kenyamanan dan kemapanan yang mungkin sering membuat kita terlena seolah jalan masih panjang, atau malah kesempitan yang mungkin saja menggugurkan semua dosa, mempersingkat semua pertanggungjawaban di alam-alam berikutnya.

Dalam segala kepedihan yang dialami seseorang, kita tidak tahu bagaimana Allah mendidiknya, melapangkan dadanya, mengisinya dengan kebersyukuran, dan lain sebagainya. Sementara dalam keberlapangan, kita juga tidak tahu apa saja yang akan kita pertanggungjawabkan.

Segala yang tampak seringkali hanyalah semu, fana, yang dalam sekali sapuan bisa akan hilang. Yang abadi hanyalah Dia semata. Mana yang lebih baik dalam takdir yang dihadirkanNya? Hanya Allah yang tahu jawabannya. Tugas kita hanya merespon sesuai kehendakNya.

Wallahu’alam.

NIAT

Siang itu langit cerah berawan saat saya memasuki salah satu kompleks perkantoran di jantung kota Jakarta. Saya dan salah seorang teman, ada janji meeting dan makan siang dengan salah satu calon klien kami. Lobi gedung terlihat mulai ramai saat saya tiba di sana.

‘Saya sudah di bawah, Mbak.’ Begitu bunyi WA yang saya kirimkan pada beliau, ketika sudah berada di lobi gedung. ‘Tunggu sebentar ya, Mbak.’ Beberapa menit kemudian, dua perempuan pekerja keras turun keluar dari lift gedung dan berjalan ke arah kami.

Setelah berbasa-basi singkat dan memperkenalkan identitas teman yang bersama saya hari itu, kamipun melangkah ke salah satu restoran terdekat untuk makan siang. Restoran dengan menu Indonesia menjadi menu pilihan kami, dalam kesempatan silaturahmi bisnis kali ini.

Sambil menunggu makanan dihidangkan, kami berbincang tentang banyak hal. Tentang keluarga, bisnis trip yang baru saja mereka lakukan ke eropa, dunia logistik dan trading yang keras, hingga kebutuhan mereka untuk pengembangan talent sekaligus memperbaiki sistem HR mereka saat ini.

‘Kami tidak menyangka bisnis kami akan berkembang secepat ini. Proses rekrutmen di awal hanya berdasarkan pertemanan dan referensi saja. Semakin ke sini kami semakin kesulitan untuk mengelola segala sesuatunya. Kami membutuhkan tim yang handal untuk membantu.’ Kami mendengarkan permasalahan mereka sekaligus mengajukan beberapa pertanyaan untuk mendapatkan gambaran awal masalah yang dihadapi.

‘Enam bulan setelah bisnis ini berjalan, kami sudah PKP. Terasa cepat sekali. Ya begitulah Allah membukakan jalannya.’ Mereka mulai bercerita bagaimana bisnis ini terbentuk dan apa tujuan awal dari pendiriannya. ‘Kami ingin bisa berzakat milyaran, Mbak’ Ibu di hadapan saya tersenyum malu-malu, saat kami bertanya alasan mereka menjalani bisnis ini. Tidak terlihat raut arogan atau kesombongan dari tutur katanya.

‘Kalau bisa apa semua yang kita dapatkan dibawa ke sana. Semua yang kita lakukan, kata Pak Ustadz kan berawal dari niat. Banyak kesulitan yang kami hadapi, namun Alhamdulillah ada saja jalan keluarnya.’ Mereka kemudian bercerita bahwa mereka sendiri memiliki sebuah komunitas sosial untuk berbagi dengan sesama. Beberapa tahun ini komunitas tersebut sudah menjalankan kegiatannya. ‘Kami ingin kegiatannya semakin berkembang dan bisnis ini bisa mendanai kegiatan tersebut.’ Mereka juga bercerita mengikuti kelompok pengajian tertentu yang menjadi referensinya dalam berperilaku.

Hati saya tersentuh mendengarnya. Saya berpikir tadinya mereka ingin menjalani bisnis karena ingin kehidupan yang mapan. Bisa membeli apa yang mereka mau, bisa Travelling kemana saja, bisa menyekolahkan anak di tempat terbaik termasuk mengirimkannya ke luar negeri. Namun percakapan ini dan ketulusan yang saya rasakan di dalamnya, membuat saya membuang jauh-jauh prasangka saya.

Tidak ada yang mengetahui niat seseorang, selain Allah dan orang itu sendiri. Meskipun niat senantiasa akan diuji dan dibersihkan, namun kekuatan niat awal semoga jadi penuntun kedua perempuan di hadapan saya ini dalam menjalankan bisnisnya. Meskipun mungkin berbeda pendapat soal amal shalih terbaik, namun saya selalu percaya kekuatan niat akan membantu seseorang menemukan Tuhan dalam perjalanannya.

Semoga selalu terjaga niatnya ibu-ibu. Semoga selalu Allah tuntun dalam mengambil keputusan terbaik. Saya belajar sekali lagi tentang niat melalui pembicaraan siang itu dengan kalian.

Depok, Juni 2024