Ketika membaca tentang kisah Bani Israil yang cukup panjang diceritakan dalam Al-Qur’an, saya merasa agak heran. Heran karena setelah melihat sendiri banyak mu’jizat yang dihadirkan di hadapan mereka, tetap saja bisa berpaling. Lautan terbelah disusul oleh tenggelamnya Fir’aun dan bala tentaranya, merupakan mu’jizat yang luar biasa besar dan fenomenal. Namun setelah selamat dari kejaran Fir’aun, mereka tetap tergoda untuk menyembah patung anak sapi kembali.
Saya kemudian bertanya-tanya, jangan-jangan perilaku saya sendiri mirip dengan Bani Israil ini. Berapa banyak ‘keajaiban’ sudah Allah hadirkan dalam hidup saya dan berapa sering saya berpaling setelahnya? Rasa-rasanya sudah banyak sekali. Anak yang selamat dari kecelakaan parah, kehidupan yang ditata kembali pasca perceraian, si sulung yang diizinkan Allah kuliah di luar negeri, merupakan beberapa keajaiban dan pertolongan yang saya rasakan.
Lalu seberapa sering saya kemudian berpaling? Rasanya sangat sering juga. Saya sepertinya tidak jauh berbeda dengan Bani Israil dalam hal ini. Lebih sering tergoda pada dunia, meskipun sering melihat kekuasaan-Nya.
Saya kemudian menyadari, benarlah apa yang Guru saya katakan. Kisah-kisah di Al-Qur’an itu adalah kisah-kisah tentang diri kita sendiri. Bukan tentang orang lain. Kisah Bani Israil menggambarkan diri kita yang masih cinta dunia dan takut mati, meskipun beriman pada-Nya. Kisah tentang umat-umat terdahulu, perumpamaan laba-laba, semut, nyamuk, dsbnya merujuk pada kita: manusia. Bukan hal-hal di luar kita, juga bukan tentang orang lain.
Karena itu saat membaca tentang ayat-ayat kaum yang kafir, munafik, fasik, dsbnya, jangan cepat-cepat menuding orang lain. Lihat ke dalam, jangan-jangan ciri-ciri itu semua ada dalam diri kita sendiri. Karena sejatinya Al-Qur’an itu penuntun untuk diri kita, bukan untuk menghakimi orang lain.
Wallahu’alam.