Cerita Dari Ruang Operasi

‘Sudah saatnya, Bu’. Suster menuntun saya masuk ke ruang operasi, setelah sebelumnya berada di ruang persiapan menunggu dokter datang. Hari itu jadwal operasi konka hidung saya akhirnya tiba, setelah nyaris dua bulan bolak-balik ke dokter THT, konsultasi, minum obat, pemeriksaan, dll yang berakhir dengan rekomendasi operasi konka hari itu.

————————————————————————————————————————

Dua bulan lalu saya mulai merasa tidak nyaman dengan kondisi muka sebelah kanan. Setelah kelelahan pasca perjalanan ke Bali, saya terkena flu yang kemudian diikuti migrain yang tidak hilang dan vertigo. Sempat juga terasa kebas di area sekitar mata, pipi, hidung kanan, yang memaksa saya ke klinik faskes 1 memeriksakan diri.

Dokter jaga merasa khawatir dan merujuk saya ke dokter syaraf. Dari dokter syaraf perjalanan pengobatan kemudian dimulai. Rujukan ke dokter THT, Rontgen leher, hidung, telinga, pemeriksaan laboratorium, dll, kemudian menyebabkan saya mengunjungi RS minimal sekali sepekan dalam dua bulan terakhir.

Membesarnya konka hidung karena efek dari covid dan juga kualitas udara yang buruk belakangan ini, diduga menjadi penyebab utamanya. Saya penderita alergi sejak kecil dan punya masalah dengan struktur tulang hidung yang bengkok, yang menyebabkan kurang lancar nya jalan nafas. Konka hidung yang membesar ini menyebabkan saya hanya bisa menghirup oksigen 20-30% saja dari hidung.

Terhambatnya aliran udara ke telinga dan penumpukan cairan di belakang telinga karena kondisi ini, menyebabkan munculnya keluhan vertigo kemudian. Migrain juga sering muncul karena kadar oksigen yang kurang lancar dari hidung. Setelah selama hampir dua bulan berdoa dan mempertimbangkan banyak hal, akhirnya Bismillah tibalah hari dimana saya berada di ruang operasi.

————————————————————————————————————————–

Hanya 5 menit berselang saat dokter meminta saya tidur di atas meja operasi, menyuntikkan obat bius, meminta saya tetap tenang, sebelum akhirnya kesadaran saya benar-benar hilang. Tidak tahu berapa lama waktu berlalu, sebelum kemudian saya tersadar dan mendapati saya masih berada di ruang operasi dengan hidung tersumbat nampon sehingga kurang leluasa bernafas.

Saat tersadar, saya mulai panik dan belum sepenuhnya ingat apa yang terjadi. Suara tenaga medis, cahaya terang, hidung yang tersumbat, pelan-pelan hinggap di kesadaran yang belum sempurna. Ketakutan merayap, kenapa saya sulit bernafas. Dalam ketakutan, tiba-tiba sesuatu yang kuat seperti menenangkan saya. Suara dari dalam meminta saya tetap tenang, mengambil nafas dalam, mengulang dzikir dan beristighfar berulang-ulang. Begitu seterusnya sehingga perlahan saya mulai dapat mengendalikan diri dan bernafas dengan baik.

Ketenangan yang tidak asing datang, melingkupi dan merayapi saya selama proses berikutnya. Rasanya tubuh saya ringan saja, hati saya lapang saja, menghadapi apapun yang Allah hadirkan ke depan setelah itu. Rasanya kekuatan-Nya mengambil alih raga saya yang sedang sangat lemah dan terbatas. Dalam keadaan seperti itu, justru kebahagiaan hadir karena percaya hidup saya ada di tangan Dia Yang Maha Baik.

Beberapa hari kemudian dalam keterbatasan fisik, rasanya hanya ada Dia dan saya di dunia ini. Saya kemudian bertanya-tanya, apakah orang yang ridho menjelang kematiannya, merasakan ketenangan dan kebahagiaan luar biasa ini? Apakah orang yang terlihat menderita secara fisik sepenuhnya menderita? Jangan-jangan mereka merasa merdeka dalam kasih sayang Tuhan. Tidak ada keinginan duniawi yang berlebihan, tidak ada kegelisahan, kecewa, sedih dan kemarahan yang berlebihan. Tidak ada tuntutan ragawi untuk dipenuhi. Semua lepas karena dilemahkan.

Beberapa hari kemudian kondisi fisik saya membaik. Fisik mulai terasa lebih kuat dan rangsang indra mulai terasa. Pikiran mulai mengambil alih tubuh, dan saat bersamaan keinginan mulai bermunculan. Keinginan untuk menonton film, bercakap-cakap, beraktivitas, makan enak, intinya segala sesuatu yang sifatnya ragawi. Ekstasi jiwa mulai menghilang, perlahan-lahan melepaskan kendalinya. Namun jejak yang tertinggal saat dia menguasai, masih terasa.

Tubuh kita ini ketika dilemahkan, maka akan menimbulkan dia yang lain yang sebelumnya mungkin tak sepenuhnya dirasakan. Dia yang tenang, dia yang damai, yang tak punya keinginan terhadap remeh temeh dunia dan seisinya. Dia yang flat saja, datar saja, namun terhubung dengan sesuatu yang berbeda, sesuatu dari Yang Maha Tinggi. Dia yang akan meneruskan perjalanan kita ke tempat yang abadi.

Saya bersyukur pernah merasakannya dan berharap jejak ‘rasa’nya akan terus menuntun hidup saya, hingga di garis akhir nanti.

Amin ya Rabbal ‘Alamin.

All reactions:

5454

PENDERITAAN : MENGEJA KASIH DI BALIK UJIAN

Satu minggu terakhir ini bukan minggu yang mudah untuk saya. Salah satu teman baik saya terkena stroke di batang otak. Setelah koma dan dirawat di ICU selama satu bulan, saat ini kondisinya sadar namun belum bisa bergerak. Hanya mampu mengedipkan mata, sedikit tersenyum dan menggerakkan jari-jari.

Saat mengunjunginya beberapa hari yang lalu, saya menangis. Dua bulan yang lalu, kami masih sering bertemu—bekerja sama untuk sebuah proyek baru, menghadiri rapat dengan klien, mendiskusikan proposal, atau sekadar berbincang santai tentang hidup. Dia menemani saya membeli beberapa pakaian kantor, juga menemani saya saat kaki saya kecelakaan dan tidak bisa kemana-mana.

Saat menuliskan ini hati saya masih terasa perih. Dua bulan lalu, kami sempat berjanji untuk bertemu lagi setelah anak saya kembali ke Jepang. Namun, masalah kesehatan saya belakangan ini membuat saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, kecuali untuk urusan pekerjaan. Selama lebih dari satu bulan, saya bahkan belum sempat memberi kabar tentang kondisi saya kepada teman-teman terdekat, termasuk dia. Saya berpikir, nanti saja, setelah diagnosis saya lebih jelas. Dua pekan lalu, saya mencoba menghubunginya kembali, berharap kami bisa bertemu seperti biasa untuk berbagi cerita.

Tapi kabar yang saya dengar sungguh membuat saya terpukul. Setiap kali memikirkan kondisinya, nafas saya terasa sesak. Dua bulan lalu, kami masih tertawa bersama dan dia sempat menceritakan mimpinya yang aneh, yang buat saya sekarang terasa seperti pertanda dari Tuhan tentang kejadian ini. Dua bulan, waktu yang singkat, namun cukup untuk membalikkan segalanya.

Saya tahu hidup seseorang telah digariskan oleh Yang Maha Kuasa, setiap kadarnya, setiap kejadiannya. Pengetahuan panjang yang saya dapatkan bertahun-tahun ini, yang saya coba imani setiap hari. Tidak ada hal buruk di dunia ini, hanya kita yang belum memahami maksudnya. Saya menyakini ini hingga sekarang, namun tetap saja peristiwa ini membuat saya sangat emosional.

Kenyataan bahwa hidup teman saya mungkin tidak sama lagi. Kami mungkin tidak akan bisa kembali melakukan semua aktivitas yang pernah kami lakukan sebelumnya. Kami mungkin tidak akan bisa lagi duduk berdua di salah satu kafe favorit kami dan berbagi cerita. Kami mungkin tidak jadi merealisasikan rencana-rencana kerja sama kami dan impian kami untuk traveling keluar kota bersama. Kenyataan ini menghantam saya. Telak.

Saya tertatih mengeja hamparan takdir yang Dia sajikan kali ini. Benar-benar tertatih memohon pertolongan-Nya di tengah kondisi kesehatan saya yang juga belum stabil. Belajar mengeja kembali bahwa semua baik, apapun baik. Belajar membaca Cinta-Nya dalam setiap peristiwa. Belajar mengeja kasih-Nya dalam penderitaan.

Penderitaan seringkali terasa tak tertanggungkan. Namun, bukankah justru melalui penderitaan, kita sering kali menemukan makna sejati? Para nabi, wali, santo, dan Buddha—semua pernah melalui jalan penderitaan yang menuntun mereka pada cahaya. Penderitaan mungkin membuat kita menangis, tetapi ia juga sering menjadi awal dari sesuatu yang lebih jernih dan abadi.

Semoga apa pun penderitaan yang sedang kita hadapi, ia menjadi jalan bagi kita untuk menemukan kesejatian diri. Semoga kita mampu melihat kasih-Nya yang tersembunyi di balik semua rasa sakit ini. Amin.

KEBAIKAN HATI

Rabu sore menjelang maghrib, dengan langkah tergesa-gesa aku memasuki pelataran mall menuju salah satu klub kebugaran dimana aku terdaftar sebagai anggota-nya. Waktu sudah menunjukkan jam 6 kurang dan waktu maghrib sudah tiba. Hari ini aku ingin mengikuti salah satu kelas yang belum pernah ku ikuti sebelumnya. Aku lirik jam di handphone, masih ada waktu untuk sholat maghrib dahulu meskipun besar kemungkinan aku akan sedikit terlambat masuk ke dalam kelas.

Setelah sholat, seperti dugaanku, kelas telah dimulai. Sepertinya hanya selang 5 menit jika kelas dimulai tepat waktu. Pintu ruangan kubuka perlahan, musik dengan tempo cepat langsung menyambar telinga saat aku bergabung di dalamnya. Semua orang sudah di posisinya, mengikuti instruktur di depan dengan semua perlengkapan yang dibutuhkan. Alat angkat beban dengan sejumlah perlengkapan lain yang aku tidak tahu namanya, sudah di depan mereka.

Aku berjingkat pelan ke arah dimana peralatan diletakkan. Dengan kebingungan memperhatikan alat apa saja yang dibutuhkan dan mereka-reka bagaimana cara menggunakannya. Butuh beberapa menit lagi sepertinya agar bisa mengikuti kelas ini sesuai dengan prosedurnya.

Tiba-tiba seorang perempuan mendekatiku. Dia tersenyum dan menyapa. Dengan cepat dia mengambil beberapa peralatan, menyerahkan padaku sebagian dan membawa sebagian lain ke sudut yang masih kosong. Tanpa banyak kata dia memasang beberapa peralatan itu untukku. Mulai dari barbel dengan beberapa plate di atasnya, dan tempat untuk meletakkannya yang disusun bertingkat, yang akupun tidak tahu namanya. Selesai mengerjakannya, dia tersenyum dan mempersilakan aku menggunakannya. Aku yang masih terkesima mengucapkan terima kasih sebelum dia kembali ke tempatnya.

Aku sungguh tertawan dengan peristiwa malam itu. Spontanitas alami yang menunjukkan kepedulian pada kesulitan orang lain tanpa diminta. Sebuah hati yang mengingatkanku pada kebaikan Yang Maha Rahman. Hati yang penuh welas asih dan pemberi, yang membuatku terharu hingga saat ini jika mengingatnya. Dalam hati aku berdoa, semoga kebaikanmu membuat hari-harimu terang dan ringan ya Mbak. Sama seperti ringannya hatimu membantu orang lain.

Rezeki

Teman saya, tadinya seorang single parent, sempat terjerumus dalam hutang yang cukup besar jumlahnya. Sebagai seorang single fighter yang membesarkan anak-anak dengan nyaris tanpa dukungan finansial dari mantan suami, posisinya menjadi sangat rentan karena harus berjuang seorang diri.

Kesempatan apapun yang datang, yang sekiranya dapat menambah penghasilan, atau terlihat seperti peluang besar, nyaris tidak pernah dilepaskan. Bakat wirausaha di satu sisi membantunya melihat peluang dan gigih mengejarnya, namun di sisi lain juga menjerumuskan dan membuatnya jadi kurang membaca diri.

Beberapa tahun ini kondisinya membaik. Dalam satu percakapan, dia mengatakan bersyukur melepaskan beberapa kerja sama bisnis, bahkan merelakan salah satu bisnis yang lama dia rintis untuk ditutup. Dia mulai fokus menjalani bidang yang disukainya sekarang, setelah perenungan yang panjang. Bidang ini sebenarnya juga sudah dia jalani beberapa tahun belakangan ini, namun tidak menjadi fokus utama. Bidang ini dia pilih karena terasa lebih sesuai dengan nature-nya, yang senang bertemu dengan orang dan menjadi penghubung antar orang. Karena lebih sejalan dengan nature dirinya ini, segalanya terasa lebih mudah, rezeki pun terasa lebih mengalir. Singkat cerita, satu persatu kesulitan finansial yang dialami pun terurai.

Berkaca dari pengalaman teman saya ini, kita dapat melihat bahwa kadang kala kesulitan datang karena kita kurang membaca diri. Dalam situasi yang terjepit terutama, kadang kala kita cenderung untuk bersegera mencari jawaban atas permasalahan. Kita mengambil semua kesempatan, kadang tanpa membaca keadaan. Hal ini membuat kita tidak jarang terjerumus dalam masalah baru yang semakin menyulitkan.

Tidak semua kesempatan yang datang baik untuk kita. Mungkin baik buat orang lain, namun belum tentu baik buat kita. Jalan yang terbuka buat orang lain, belum tentu jalan yang sama untuk kita. Seringkali dalam situasi sulit, yang dibutuhkan adalah berhenti sejenak, melihat ke dalam, bersikap jujur terhadap kekurangan diri, banyak beristighfar dan berefleksi. Dalam situasi ini juga dibutuhkan kesadaran tentang apa yang ada di tangan yang sedang dimudahkan, yang mungkin akan membantu kita keluar dari persoalan. Memohon petunjuk pada Allah, alih-alih mencoba menyelesaikan masalah sendiri dengan apa yang hadir, merupakan hal utama yang harus kita lakukan. Karena rezeki sejati itu, seperti kisah Nabi Ismail, ada di bawah kaki kita sendiri. Ketidakmampuan membaca diri seringkali jadi penghambat kita menemukannya.

WAKTU DAN LUKA

Waktu akan membantumu mem-frame ulang apa yang terjadi, memahami dengan lebih jernih semua peristiwa, menerimanya dengan lebih lapang, memaafkan dirimu sendiri dan orang lain, lalu melepaskan masa lalu dalam damai dan mulai belajar hidup penuh di hari ini.

Semoga Tuhan, dengan ke MahaRahmanRahim- Nya, merangkulmu dalam kasihNya selama proses penyembuhan itu berlangsung. Semoga Dia berkenan mengajarkan hikmah setiap peristiwa padamu, sehingga kamu bisa bertumbuh selama proses penyembuhan ini, dan keluar menjadi individu yang lebih baik dari sebelumnya.

Apakah waktu bisa menyembuhkan luka? Bisa atas pertolonganNya, tanpa kamu harus menghapus seluruh peristiwa dari ingatanmu.

Untukmu, siapapun yang sedang terluka, bertahan dan bersabar ya…